Persoalan Dilematis Lembaga Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh walhi.or.id

Tradisi hukum di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia, keberadaan pemisahan kekuasaan sebagai salah satu bentuk implementasi dari prinsip negara hukum adalah suatu keniscayaan. Penerapan konsep pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan di zaman modern sudah saling kombinasi antara konsep pemisahan kekuasaan dengan konsep checks and balances, sehingga konsep hybrid seperti ini disebut dengan istilah (distribution of power). Dalam hal ini kekuasaan tidak dipisah secara tegas tetapi hanya dibagi-bagi, sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan. Meskipun begitu, konsep awal dari ajaran trias politica yang berasal dari Montesquieu, yang bermaksud untuk memisahkan sama sekali di antara kekuasaan-kekuasaan tersebut, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konsep ini dalam sejarah ketatanegaraan dulu dianut oleh Eropa Kontinental. Sedangkan konsep checks and balances berasal dari para The Founding Fathers Amerika Serikat, yang memisakan secara tegas satu sama lain namun saling mengawasi tanpa adanya satu kekuasaan yang berada di atas atau (tidak menjadi master atau kekuasaan yang lain) masing-masing mengawasi mekanisme check and balances berjalan dengan baik, disamping juga terhindar dari kesewenang-wenangan.

Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pasca amendemen, kedaulatan rakyat ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan yang dinisbatkan/ atau dilaksanakan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang kedudukannya sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances yang merujuk pada konsep trias politika. Cabang kekuasaan legislatif tetap berada pada MPR, namun Majelis ini terdiri dari dua badan perwakilan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.

Prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD) menurut Jilmly Asshiddiqie, harus dibedakan hakikatnya dari prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR). Jimly Asshiddiqie, bermaksud bahwa agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat dijelmakan kedalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) yang berdiri sendiri, disamping terdiri atas kedua lembaga perwakilan itu menyebabkan struktur parlemen Indonesia, terdiri dari tiga pilar, yaitu, MPR, DPR dan DPD digambarkan dengan trikameral. Tiga badan tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Presiden dan pelaksanaan kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga negara baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia bila dibandingkan dengan lembaga yang lain seperti DPR dan MPR, yang merupakan hasil dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah, dianggap sebagai perwujudan dari sistem perwakilan dengan struktur dua kamar atau bikameral di dalam sistem pemerintahan Presidensiil. Oleh karena itu seharusnya Dewan Perwakilan Daerah juga diberikan kekuasaan legislatif agar dapat mengimbangi dan mengawasi Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan prinsip checks and balance. Selain itu, tujuan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah adalah untuk memperkuat peran daerah dalam proses penyelenggaraan negara yang merupakan salah satu elemen penting dalam pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kehadiran DPD sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini sebagai upaya memperkuat konsep perwakilan namun dalam fakta yuridis, DPD tidak memiliki kedudukan yang jelas. Apalagi pengaturan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan DPD tidak diatur secara komprehensif dan sangat sumir yang mengakibatkan adanya intepretasi bahwa kehadiran DPD sebuah keniscayaan. Hal ini dapat dilihat sebagaimana tertuang dalam Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 22F ayat (2), DPD sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun, selain hanya memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran kepada DPR sebagai lembaga yang memutuskan, baik dalam bidang legislatif maupun pengawasan. Kewenangan DPD berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang sebatas memberikan pertimbangan pun menampakkan kelemahan fungsi DPD karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan daerah terhadap kemungkinan pertimbangan usul, ataupun saran DPD yang tidak ditindaklanjuti oleh DPR. Apalagi rancangan undang-undang yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh DPD dengan menggunakan hak yang dimiliki DPD, sebagaimana dipraktikkan dalam sistem perwakilan bikameral. Hal inilah yang mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam sistem ketatanegaraan saat ini yang membuat kedudukan DPD sangat dilematis.

Yang menarik dan patut dicermati dari lembaga tinggi di Indonesia ini adalah Dewan Perwakilan Daerah yang sejatinya merupakan majelis tinggi yang memiliki kewenangan sama dengan DPR, akan tetapi dalam kenyataannya Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat dikatakan sebagai badan komplementer DPR saja. Sebagai salah satu contoh adanya kepentingan antar keduanya ialah kewenangan DPD dengan DPR dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 17 tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah. Pada Undang-Undang tersebut, DPR diberikan kewenangan untuk dapat memutuskan perundanganundangan melalui persetujuan bersama dengan presiden. Sedangkan pada Dewan Perwakilan Daerah tidak terdapat pada UUD 1945 mengenai kewenangan DPD RI untuk dapat memutuskan perundang-undangan seperti halnya DPR RI melainkan hanya fungsi legislasi DPD yang sekedar memberi pertimbangan saja.

Kewenangan DPD berdasarkan landasan konstitusionalnya yang kemudian direduksi oleh Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah memberikan kerugian konstitusional terhadap DPD. Terdapat beberapa pasal yang telah mengurangi fungsi, tugas kewenangan DPD dari kehendak konstitusi. Kondisi ini dianggap tidak memberikan sistem yang baik mengingat legitimasi anggota DPD yang sangat kuat dan kelembagaan DPD sebagai lembaga tinggi negara, seharusnya dapat bekerja dengan kewenangan signifikan sebagai teritorial representation. DPD sebagai lembaga perwakilan yang menggantikan utusan daerah dan golongan di MPR melalui amandemen ke tiga (2001) yang kemudian disempurnakan dalam amandemen ke empat (2002) UUD 1945. Pembentukan DPD tidak lepas dari 2 (dua) hal yaitu: Pertama, adanya tuntutan demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat pemilih. Keberadaan utusan daerah dan utusan golongan dalam komposisi MPR digantikan dengan keberadaan DPD. Kedua, karena adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak dikendalikan dengan baik akan berujung pada tuntutan sparatisme. DPD dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah. Utusan golongan sendiri kemudian dihapus karena penentuan utusan golongan dianggap menyulitkan demokrasi serta utusan golongan dianggap sudah dapat disalurkan dan diwadahi melalui keberadaan dari DPD.

Dalam rangka penguatan kapasitas DPD yang memadai dan lebih bagus, diperlukan adannya penyempurnaan tatanan negara yang lebih bisa menjamin kedaulatan rakyat dan prinsip cheks and balances antar lembaga negara. Dalam kekuasaan legislatif, perlu ditata kembali prinsip kesetaraan, saling mengontrol dan mengimbagi antara DPR dengan DPD. Tujuan ke arah tersebut akan berujung perlunya melakukan perubahan UUD 1945 secara komprehensif, dan dalam konteks DPD perlu penyempurnaan pasal 22 D. Terlebih DPD telah memberikan penguatan kehidupan demokrasi, khususnya yang berkaitan dengan daerah dengan menyerap aspirasi dan kepentingan daerah, serta memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah kepada Pemerintah atau di tingkat nasional. Hal ini niscaya juga akan mendekatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antara masyarakat dengan pemerintah. Pada kelanjutannya akan dapat memupuk dan memperkuat perasaan akan manfaat pemerintah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Bahwa DPD juga menunjukkan penguatan demokrasi dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain Sistem pemilihan anggota DPD dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Selain itu, DPD sebagai perwakilan daerah menunjukkan akomodasi dan representasi wilayah artinya ada penyebaran perwakilan dari seluruh wilayah/provinsi di Indonesia.

Penguatan DPD tak perlu lagi dikaitkan dengan bentuk federalisme dengan sistem perwakilan bikameral. Memang benar bahwa banyak negara yang menganut federalisme menggunakan sistem perwakilan bikameral, tetapi juga banyak negara yang berbentuk negara kesatuan menganut sistem perwakilan bikameral. Dalam konteks Indonesia, yang memiliki wilayah sangat luas, terdiri dari ribuan pulau dengan tingkat heteroginitas tinggi, penduduknya banyak, kiranya tidak salah jika Indonesia memilih sistem bikameral. Eksistensi DPD yang kuat ke depan harus dipertahankan, dan pilihan sistem perwakilan bikameral tidak perlu dikhawatirkan akan menuju federalisme. Tentu saja harus secara berlanjut dilakukan sosialisasi aturan sistem ketatanegaraan yang disepakati di samping juga menjaga dan memperkokoh jati diri bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.

Penulis: Hezron Sabar Rotua Tinambunan dan Bagus Oktafian Abrianto

Informasi lengkap dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://scholar.google.co.id/citations?user=EpKRDT8AAAAJ&hl=id

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp