Benarkah Pasien Diabetes Wanita Lebih Berisiko Menderita Penyakit Jantung?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Liputan6 com

Diabetes mellitus merupakan penyakit tidak menular dengan prevalensi global yang terus meningkat. Termasuk di Indonesia, yang merupakan negara dengan ranking ke 7 terbanyak prevalensinya, di bawah Cina yang menempati urutan pertama. Dari segi usia, penderita diabetes mellitus juga semakin menunjukkan tren diderita oleh usia yang semakin muida, selain memang kelompok usia dewasa awal dan usia lanjut merupakan kelompok dengan risiko tertinggi. Karena itu, maka upaya pengendalian prevalensi diabetes mellitus menjadi salah satu tujuan SDGs ke 3 yaitu Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan penduduk di segala usia

Dibandingkan dengan pria, secara umum wanita memiliki risiko penyakit jantung koroner (PJK) yang jauh lebih rendah. Namun ketika seorang wanita menderita Diabetes mellitus (DM), wanita mengalami peningkatan risiko yang lebih besar untuk mengalami komplikasi kardiovaskular,  termasuk PJK. Beberapa faktor non-biologis, termasuk karakteristik dokter yang menangani serta  perilaku pasien itu sendiri, diduga menyebabkan perbedaan itu,  selain faktor biologis seperti kontribusi hormon seks dan faktor risiko khusus terkait perbedaan jenis kelamin lain.

Hal ini didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa pasien diabetes wanita mengalami lebih banyak kendala dalam memperoleh pelayanan medis dibanding pasien DM pria. Beberapa ahli berpendapat bahwa sangat mungkin bahwa sebagian dokter juga  memiliki pendapat tradisional yang berpikir bahwa penyakit kardiovaskular sebagian besar adalah  penyakit pada laki-laki sehingga mempengaruhi antisipasi pada kemungkinan diagnosis PJK pada pasien DM wanita. Sedangkan terkait faktor perilaku, Kirkman dkk dalam penelitiannya di AS juga menemukan bahwa kepatuhan mengkonsumsi obat anti diabetes (OAD)  sedikit lebih rendah di kalangan pasien wanita.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk untuk menganalisis faktor non biologis, dalam hal ini adalah  apakah karakteristik dokter, yang terdiri dari usia, jenis kelamin, serta spesialisasi dokter  tersebut,   yang menyebabkan perbedaan  risiko PJK di antara pasien diabetes laki-laki dan wanita tersebut di Taiwan. Untuk itu, sebanyak 10.105 pasien diabetes tipe 2, terdiri dari 4.962 pria dan 5.143 wanita diteliti secara kohort  retrospektif selama 3 tahun, dengan  menggunakan data Asuransi Kesehatan Nasional Taiwan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah mempertimbangkan aspek sosial-demografis, penyakit penyerta termasuk hipertensi, obesitas, serta derajat keparahan diabetes berdasarkan komplikasi Diabetes yang dialami, seperti retinopati (penglihatan kabur), nefropati (gangguan pada ginjal), gangguan peredaran darah, dan gangguan metabolisme,  ternyata pada pasien laki-laki risiko PJK tetap lebih tinggi dibanding pada pasien wanita.  

Menariknya lagi, di antara pasien yang berobat pada dokter laki-laki, jumlah pasien laki-laki memiliki risiko PJK yang jauh lebih tinggi daripada pasien perempuan meskipun tidak signifikan secara statistik. Pada penelitian ini juga terungkap  bahwa pasien wanita memiliki kepatuhan berobat yang lebih baik. Meskipun demikian, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kepatuhan ini  belum bisa  menjelaskan perbedaan risiko PJK berdasarkan jenis kelamin sebagaimana diduga sebelumnya. 

Ada kemungkinan bahwa beberapa dokter mungkin cenderung untuk menganggap dan mengobati PJK sebagai ‘penyakit laki-laki,’ dan bila demikian, akan mengurangi kewaspadaan terhadap risiko kardiovaskular pada pasien diabetes  wanita. Dalam penelitian ini, meskipun di Taiwan didapatkan adanya kecenderungan  adanya pengaruh potensial dari jenis kelamin dokter terhadap pola perawatan pasien diabetes berdasarkan jenis kelaminnya seperti itu, tetapi hasil analitik statistik yang dilakukan  dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya pengaruh yang berarti dari jenis kelamin terhadap peningkatan  risiko PJK pada pasien diabetes tersebut. Demikian juga bila dianalisis dari aspek usia dan jenis spesialisasi dokter yang merawat pasien diabetes tersebut, ternyata juga tidak ada pengaruh yang bermakna.

Penelitian ini memiliki keterbatasan,   pertama, diagnosis diabetes pada sistem pengkodean penyakit di Taiwan memiliki banyak variasi kode sehingga berdasarkan hal ini ditengarai ketepatan diagnostik diabetes pada pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini  hanya  74,6%. Kedua, faktor risiko penyakit jantung yang sudah lazim diketahui misalnya, gaya hidup dan indeks massa tubuh tidak secara khusus diteliti secara terpisah. Ketiga,  obat diabetes yang mungkin diresepkan berbeda untuk pasien pria dan wanita tidak secara khusus diteliti. Meskipun dalam penelitian ini diketahui  bahwa obat-obatan yang meningkatkan sekresi insulin dapat menurunkan kadar gula darah pasien diabetes pria yang ramping lebih besar daripada terhadap pasien diabetes wanita diabetes yang langsing, di mana pasien diabetes  wanita dengan obesitas menunjukkan pengurangan kadar gula darah yang lebih besar dengan obat anti diabetik yang berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas insulin dibandingkan terhadap pasien  diabetes pria dengan obesitas.

Meskipun ada perbedaan jumlah,  tetapi  karakteristik dokter terhadap kepatuhan obat serta kelangsungan perawatan di antara pasien dengan T2DM di Taiwan ternyata tidak terlalu berkaitan. Selain itu, karena ternyata karakteristik dokter tidak secara bermakna dikaitkan dengan risiko penyakit jantung, termasuk dalam kaitannya dengan jenis kelamin pasien diabetes,  maka dalam penelitian ini  karakteristik dokter memiliki sedikit pengaruh dalam menjelaskan perbedaan kejadian  risiko  penyakit jantung  di antara pasien diabetes laki-laki dibanding perempuan.

Penulis: Muhammad Atoillah Isfandiari, dr., M.Kes

Link: https://www.mdpi.com/2227-9032/9/4/440

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp