Penerimaan Dokter dan Mahasiswa Kedokteran di Indonesia Tentang Pengeditan Genom

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh SehatQ

Pengeditan genom adalah salah satu teknologi terbaru yang memungkinkan peneliti untuk mengedit DNA makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Pengeditan yang dilakukan dapat berupa pemotongan, penambahan, penggantian, bahkan penon-aktifan fungsi gen target. Teknik yang digunakan dalam teknologi ini dapat berupa Zinc Finger Nucleases (ZNFs), Transcription activator-like effector nucleases (TALENs), dan Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) and CRISPR-associated protein (Cas). Teknik yang terakhir ini mendapatkan hadiah Nobel dalam bidang kimia pada tahun 2020.

CRISPR/Cas diterima dengan baik karena teknik yang cukup sederhana dengan harga yang relative murah dibandingkan teknik pengeditan genom yang lain. Selain itu, manfaat yang ditawarkan oleh CRISPR/Cas sangatlah besar dan luas, terutama dalam mengatasi kelangkaan pangan dan terapi penyakit genetik. Saat ini, CRISPR/Cas sedang menjalani uji klinik pada beberapa penyakit seperti anemia sel sabit, thalassemia, leukemia, lymphoma, kanker paru, dll.

Walaupun menjanjikan, kewaspadaan akan teknik pengeditan genom ini meningkat setelah pada tahun 2018, seorang peneliti di China menguumkan kelahiran bayi kembar yang telah diedit gen CCR5-nya, sehingga membuat mereka menjadi resisten terhadap HIV. Kedua orang tua bayi kembar ini adalah penderita HIV, dan diklaim bahwa kedua bayi lahir dengan komplikasi minimal. Sayangnya klaim tanpa bukti ini menyebabkan penerimaan akan pengeditan genom jauh menurun.

Hal inilah yang kemudian mendasari penelitian kami yang berjudul Attitudes of Indonesian Medical Doctors and Medical Students Toward Genome Editing. Pengetahuan dan penerimaan dokter dan calon dokter mengenai terapi masa depan sangatlah diperlukan sebelum penggunaan luas. Mengingat jenis terapi ini belum menjadi salah satu fokus dalam kurikulum pendidikan dokter Indonesia serta keberagaman latar belakang dokter dan mahasiswa kedokteran, maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengetahuan dan perilaku dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia terhadap pengeditan genom.

Studi cross-sectional ini merupakan bagian dari penelitian terapi gen dan studi pengeditan genom di Indonesia dan dilaksanakan pada bulan Mei hingga Desember 2020. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner online dengan responden dari penelitian ini hanya terdiri dari dokter dan mahasiswa kedokteran, yang berusia lebih dari 18 tahun, WNI, dan pernah menempuh pendidikan kedokteran program atau lulus dari Fakultas Kedokteran di Indonesia. Dan didapatkan 1055 jawaban yang valid pada studi ini dengan rincian 534 dokter dan 521 mahasiswa kedokteran Indonesia.

Dari studi ini didapatkan kedua grup memiliki pengetahuan yang sangat rendah mengenai teknik ini yaitu sebesar 12.2% untuk dokter dan 13.1% untuk mahasiswa kedokteran, walaupun yang pernah mendengar teknologi ini lebih tinggi yaitu 21.3% dan 28%. Responden lebih familiar tentang makanan yang dimodifikasi genetik yaitu sebanyak 38.8% dan 28.2% dibandingkan dengan teknologi pengeditan genom. Pengetahuan ini lebih rendah dibandingkan pengetahuan masyarakat umum di Amerika yaitu 31%.

Walaupun demikian, penerimaan responden terhadap aplikasi pengeditan genom pada penyakit fatal di sel somatic/dewasa sebanyak 60.76%, serta pada penyakit yang membatasi aktivitas 61.33%. Pengeditan genom pada sel somatic artinya perubahan gen ini tidak dapat diturunkan pada generasi selanjtnya. Dan penerimaan ini sedikit menurun jika aplikasi pengeditan genom dilakukan pada sel embryo yang berarti perubahan gen yang terjadi dapat diturunkan pada generasi selanjutnya. Sementara apabila tujuan pengeditan genom ini dilakukan untuk tujuan memperbaiki kekuatan, sifat dan penampilan fisik manusia, penerimaan dokter dan mahasiswa kedokteran Indonesia jauh berkurang yaitu sbenayak 17.52-40.53%.

Beberapa faktor yang menjadi perhatian responden mengenai teknologi ini adalah kemungkinan diturunkan (14.19%), biaya yang diperlukan (21.93%), efek samping (22.24%), pelanggaran privasi (9.5%), melanggar nasib atau takdir (15.37%), melanggar nilai agama (15.71%), dan lain-lain seperti kurangnya bukti dan ahli serta kemungkinan penyalahgunaan (1.07%). Selain itu, penerimaan pada pengeditan genom ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiodemografi yaitu jenis kelamin, agama, usia, pendidikan, dan status ekonomi. Sehingga diperlukan pendalaman akan pengetahuan, keuntungan, dan juga resiko mengenai teknologi ini. Kekurangan dari studi ini adalah penggunaan kuesioner secara online sangatlah efektif untuk dilakukan selama pandemi, namun ada kemungkinan bias karena kuesioner ini tidak mencapai responden yang berada di daerah terpencil dan mungkin sulit mengakses internet.

Penulis: Annette d’Arqom, dr., M.Sc., Ph.D

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.dovepress.com/attitudes-of-indonesian-medical-doctors-and-medical-students-toward-ge-peer-reviewed-fulltext-article-JMDH

Izzah SN, Setyanto D, Hasanatuludhhiyah N, Indiastuti DN, Nasution Z, d’Arqom A. Attitudes of Indonesian Medical Doctors and Medical Students Toward Genome Editing. J Multidiscip Healthc. 2021 May 4;14:1017-1027. doi: 10.2147/JMDH.S303881. PMID: 33981145; PMCID: PMC8106925.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp