Korelasi Receptor Activator of Nuclear Factor-κβ Ligand (RANKL) dan Osteoprotegerin (OPG) dengan Bone Mineral Density (BMD)

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh wikipedia

Osteoporosis merupakan suatu penyakit dengan karakteristik rendahnya massa tulang, penurunan jaringan tulang, dan gangguan mikroarsitektur tulang. Hal ini dapat menyebabkan kekuatan tulang menurun dan risiko terjadinya fraktur meningkat. Osteoporosis dan fraktur terkait penyakit ini merupakan penyebab penting mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia. Sebanyak 5,3% dari total populasi penderita osteoporosis usia lanjut di Asia pada tahun 1995 diproyeksikan meningkat menjadi 9,3% pada 2025.

Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun 2007 menyatakan bahwa proporsi penderita osteoporosis pada penduduk yang berusia di atas 50 tahun adalah 32,3% pada wanita dan 28,8% pada pria. Data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa angka kejadian patah tulang paha atas akibat osteoporosis adalah sekitar 200 dari 100.000 kasus pada usia 40 tahun. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis yang tinggi adalah Sumatera Selatan sebesar 27,7%, Jawa Tengah sebesar 24,02%, Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 23,5%, Sumatera Utara sebesar 22,82%, dan Jawa Timur sebesar 21,42%. Rekapitulasi Dinas Kesehatan Kota Surabaya mengenai jumlah kasus penyakit tidak menular kota Surabaya tahun 2011 menunjukkan bahwa penyakit osteoporosis lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada pria, yaitu sebesar 2.637 dibandingkan dengan 1.828 orang.

Penegakan diagnosis osteoporosis adalah berdasarkan manifestasi fraktur setelah trauma minimal atau dengan mendeteksi rendahnya Bone Mineral Density (BMD). Terdapat beberapa modalitas imaging yang berbeda, namun Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) merupakan metode yang paling disarankan. Pemilihan terapi berdasarkan Pharmaceutical Benefits Scheme (PBS) membutuhkan konfirmasi dari fraktur akibat trauma minimal atau rendahnya BMD. Kelemahan DEXA dalam menggambarkan osteoporosis dapat disebabkan karena banyaknya artefak, antara lain fraktur terdahulu, proses patologis pada tulang belakang, artefak ekstrinsik, dan obesitas.

Laju produksi dan destruksi sel tulang dapat dievaluasi dengan mengukur aktivitas enzim osteoblastik, enzim osteoklastik, dan komponen matriks tulang dalam aliran darah atau urine. Penanda formasi tulang yang telah digunakan pada wanita pasca menopause dengan osteoporosis saat ini adalah kadar osteokalsin total dalam serum (dikenal pula sebagai bone gamma-carbocyglutamic protein [BGP]), alkalin fosfatase tulang, dan procollagen type I N-terminal propeptide (PINP). Penanda resorpsi tulang yang telah digunakan adalah fragmen telopeptide yang dibentuk oleh cathepsin K (C-terminal telopeptide [CTX], N-terminal telopeptide NTX) dan matrix-metalloproteases (MMP) [CTX-MMP atau ICTP], dan fragmen dari porsi heliks dari molekul kolagen tipe I. Penanda resorpsi Receptor Activator of Nuclear Factor-κβ Ligand (RANKL) dan penanda formasi Osteoprotegerin (OPG) digolongkan sebagai penanda biokimia baru dari metabolisme tulang. RANKL dan OPG dapat menggambarkan regulasi aktivitas osteoblas dan osteoklas secara lebih spesifik.

Konsentrasi penanda biokimia osteokalsin dan C-terminal Telopeptide (CTX) diketahui terpengaruh oleh pola makan yang dimediasi oleh hormon gastrointestinal yaitu glucagon-like peptide-2 (GLP2). Parameter ini juga dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat badan, ras, riwayat kehamilan dan menyusui, pola makan, latihan dan aktivitas sehari-hari, siklus menstruasi, riwayat patah tulang sebelumnya, riwayat penyakit metabolisme tulang sebelumnya, fungsi hati, dan fungsi ginjal. RANKL dan OPG memiliki variasi biologis yang lebih rendah pada populasi orang sehat dari segi usia, jenis kelamin, waktu pengambilan sampel, siklus menstruasi, dan aktivitas fisik.

Pengaturan kadar OPG telah menunjukkan hasil yang efektif dalam mencegah resorpsi tulang. Pengukuran kadar RANKL memberikan pemahaman mengenai status fraktur melalui mekanisme osteoporosis. Data preklinis mengindikasikan dengan jelas bahwa tingginya kadar RANKL dan rendahnya kadar OPG, sebagai contoh penurunan rasio RANKL/OPG, berhubungan dengan tingginya turnover dan hilangnya massa tulang. Rasio RANKL/OPG dapat menggambarkan aktivitas resorpsi dan formasi tulang lebih signifikan dibandingkan dengan kadar RANKL dan OPG jika dikorelasikan dengan gambaran BMD. Pengukuran kadar RANKL dan OPG pada serum simpan penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan RANKL dan OPG dengan BMD. 

Hasil uji korelasi penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara BMD lumbal dengan rasio RANKL/OPG pada kelompok osteopenia. Suatu korelasi positif antara kadar RANKL serum dengan BMD telah diobservasi dan memberikan pernyataan bahwa hasil tersebut sangat dipengaruhi oleh usia. Periode transisi menopause berhubungan dengan peningkatan resorpsi tulang yang dikonfirmasi dengan tingginya kadar TRAP dan ALP. Kombinasi turnover tulang yang tinggi dengan rendahnya indeks bioaktivitas RANKL (rasio RANKL/OPG) menunjukkan mekanisme kompensasi terhadap peningkatan resorpsi tulang. Variasi sirkadian kadar OPG dan siklus menstruasi menjadi faktor yang dapat mempengaruhi impresisi pengukuran. Usia dan menopause dapat mempengaruhi kadar OPG secara individu. Regulasi OPG dan RANKL dalam proses resorpsi tulang dapat dipengaruhi oleh banyak hormon kalsiotropik (PTH, vitamin D, glukokortikoid, dan estrogen) dan sitokin (IL-11, PGE2, bFGF, IL-1a, IL-1h, TNFα, dan TGF-β). Rasio RANKL/OPG dapat digunakan sebagai data pendukung diagnosis osteoporosis yang ditegakkan berdasarkan gambaran BMD. 



Penulis: Ferdy Royland Marpaung, dr., Sp.PK 

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:  www.indonesianjournalofclinicalpathology.org Fauqa Arinil Aulia, Sri Lestari Utami, Leonita Anniwati, Sony Wibisono Mudjanarko, Ferdy Royland Marpaung

DOI: http://dx.doi.org/10.24293/ijcpml.v27i1.1627

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).