Distonia abdomen, suatu bentuk diskinesia fokal yang terjadi pada dinding abdomen, pertama kali dikemukakan oleh Antonie Van Leeuwenhoek pada tahun 1723 ketika ia sendiri mengalami gejala tersebut. Sejak saat itu, berbagai istilah telah diajukan untuk menjelaskan gangguan ini, termasuk penyakit Leeuwenhoek, mioklonus diafragma, tremor diafragma, flutter diafragma, gerakan dyskinesia umbilicus, distonia abdomen, dan mioklonus respirasi.
Distonia abdomen sangat jarang terjadi, terdiri dari gerakan ritmik involunter dan berulang dari dinding abdomen. Gerakan ini tidak dapat ditekan secara volunter, tetapi dapat dipengaruhi oleh manuver respirasi. Beberapa pemeriksaan, seperti pencitraan medulla spinalis dan pencitraan abdomen, biasanya gagal untuk memperlihatkan kelainan lokal untuk menjelaskan gangguan gerakan ini.
Berbagai kasus telah dilaporkan dalam literatur dengan berbagai penyebab yang mendasari. Namun, sepengetahuan kami, patofisiologi yang mendasari gangguan ini belum sepenuhnya dijelaskan. Dalam kasus ini, maka penanganan simptomatik adalah satu-satunya pilihan yang tersedia.Prognosis kondisi ini tidak begitu baik karena tidak ada pengobatan yang telah terbukti efektif.Kami melaporkan pengalaman kami dengan kasus distonia abdomen yang dilakukan tatalaksana dengan pallidotomi globus pallidus internal (GPi) dan lesi stereotaktik. Kami juga melaporkan tindak lanjut pasien selama 2 tahun.
Kasus
Pria berusia 48 tahun datang ke rumah sakit kami dengan riwayat gerakan menyentak involuter pada dinding kiri anterior abdomen selama 5 tahun. Gejala tersebut secara bertahap memburuk seiring waktu. Gerakan involunter yang dikeluhkan pasien terjadi tiba-tiba tanpa aura terkait atau faktor pemicu yang jelas. Pasien merasakan kontraksi otot abdomen terutama di sisi kiri. Kontraksi dan gerakan menyentak tersebut tidak membaik dengan posisi istirahat, duduk, atau berbaring.
Rasa sesak dan nyeri pada dinding abdomen menyebabkan pasien mengalami gangguan aktivitas dan gangguan tidur. Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan atau trauma sebelumnya pada abdomen dan kepala. Tidak ada riwayat keluarga dengan kondisi yang serupa. Pemeriksaan neurologis dan MRI tidak menunjukkan kelainan yang dapat menjelaskan gejala tersebut.
Pasien menerima pengobatan oral (klonazepam, triheksifenidil, diazepam, dan baklofen) selama 4 tahun tanpa pengurangan gejala. Pasien tersebut didiagnosis dengan distonia abdominal yang resisten terhadap pengobatan oral. Setelah diskusi singkat antara tim dan pasien mengenai modalitas lain termasuk injeksi toksin botulinum dan pembedahan, setelah pasien terbukti resisten terhadap pengobatan oral, maka kami melakukan pallidotomi GPi stereotaktik sisi kanan. Gejala pasien kemudian sembuh total, dan pasien dipulangkan tanpa disertai pengobatan apapun. Gejala pasien kemudian kambuh lagi setelah 3 bulan, dan tindakan pallidotomi GPi diulangi 3 bulan kemudian (6 bulan setelah tindakan pallidotomi awal) dengan teknik yang sama, tetapi di lokasi target yang berbeda.
Taira dkkmencatat bahwa sebagian besar kasus distonia bersifat refrakter secara medis dan bahwa tatalaksana bedah menghasilkan perbaikan yang nyata. Dari pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium, dan pencitraan MRI kepala, kami meyakini bahwa penyebab pada pasien kami adalah idiopatik. Krack dan Vercueil10 melaporkan manfaat yang besar dari tatalaksana bedah, terutama dalam kasus distonia primer (idiopatik atau genetik) dan manfaat yang lebih sedikit pada pasien dengan distonia sekunder.
Saat ini, berbagai intervensi bedah saraf telah efektif untuk berbagai jenis distonia.9 Berdasarkan beberapa laporan pasien terbaru, lesi pada GPi saat ini cukup aman dan mungkin merupakan pengobatan terbaik untuk dystonia.10,11 Pernyataan ini selanjutnya didukung oleh Zhuang. dkk,12 yang melaporkan bahwa neuron pada 87% dari 367 pasien dengan distonia menunjukkan perubahan aktivitas neural, termasuk pelepasan berkelompok pada nucleus GPi dan subthalamicus, aktivitas neuron yang lebih bertahan lama, dan pelepasan neuron yang cepat pada nucleus ventralis oralis posterior atau nucleus ventralis intermedia thalamus. Neuron di nucleus ventralis oralis posterior, GPi, dan subthalamicus bekerja pada frekuensi yang sama seperti yang ditunjukkan pada pemeriksaan elektromiografi selama terjadi distonia.12 Yoshor dkk13 merekomendasikan tindakan pallidotomi GPi sebagai terapi optimal untuk sebagian besar pasien dengan distonia primer.
Sampai saat ini, meskipun lesioning telah diganti utamanya oleh deep braing stimulation karena tingkat keamaan yag lebih tinggi dan kemampuan untuk melakukan lesi yang dapat disesuaikan, seperti yang dijelaskan Taira dkk dan telah terbukti mampu menangani gejala distonia, kami meyakini bahwa lesioning tetap menjadi modalitas pengobatan yang baik untuk pasien yang tidak ingin menjalani implantasi device dan/atau yang tidak dapat menjalani deep braing stimulation karena alasan ekonomi atau geografis. Setelah diskusi singkat, pasien kami dilakukan lesioning pada GPi kanan dengan perbaikan kondisi yang sangat baik segera setelah tindakan operasi.
Sebagai kesimpulan, kami melaporkan kasus langka distonia abdomen yang berhasil diobati dengan tindakan pallidotomi GPi. Kasus ini menunjukkan bahwa tindakan pallidotomi GPi dapat menjadi pengobatan pilihan yang aman dan efektif untuk pasien dengan distonia abdomen yang resisten terhadap pengobatan atau pasien-pasien yang tidak dapat mentolerir efek samping pengobatan.
Penulis: Achmad Fahmi
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
A. Fahmi, Asadullah, Y. K. Aji, D. R. Aprianto, H. Subianto, and A. Turchan, “Successful Relief of Abdominal Dystonia After Sequential GPi Pallidotomy with 2-Year Follow-Up,” World Neurosurg., vol. 144, pp. 68–70, 2020, doi: 10.1016/j.wneu.2020.08.152.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1878875020319215