UNAIR NEWS – Universitas Airlangga kembali mengukuhkan lima Guru Besar pada Rabu (14/10/2020). Salah satu gubes yang dikukuhkan ialah Prof. Muchammad Yunus, drh., M.Kes., Ph.D. Ia merupakan guru besar aktif di bidang Entomologi dan Protozologi Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Yunus menyampaikan tentang perkembangan dan pengembangan vaksin koksidiosis dalam mendukung peningkatan sustainability dan profitability industri perunggasan Indonesia.
Pada awal paparan, Prof. Yunus menjelaskan bahwa permasalahan yang sering dihadapi hampir semua industri peternakan adalah penurunan produktifitas yang diakibatkan penyakit. Dua mekanisme utama yang harus dilakukan dalam mengontrol penyakit adalah penggunaan vaksin dan antimikroba. Oleh karena itu, Prof. Yunus dalam risetnya mencoba untuk mengembangkan salah satu vaksin untuk penyakit koksidiosis. Koksidiosis pada ayam, tandasnya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa intraseluler. Parasit ini menginfeksi dan berkembang dalam sel epitel lapisan mukosa usus atau sekum. Perkembangan parasit menyebabkan kerusakan epitel usus, diare dan malabsorpsi nutrisi.
”Fakta yang ada pada industri perunggasan, kontrol terhadap koksidiosis sebagian besar berhubungan dengan penggunaan secara rutin anti koksidiosis (koksidiostat). Hal ini dapat dibuktikan adanya active ingredient koksidiostat pada setiap produk pakan yang diproduksi oleh produsen pakan ternak,” kata Prof. Yunus.
Selain itu, sambungnya, disamping adanya resistensi parasit yang ditimbulkan akibat penggunaan koksidiostat yang terus menerus, kekhawatiran adanya residu dalam produk-produk asal unggas juga menyebabkan strategi menejemen industri perunggasan menjadi lebih kompleks dan mahal. Untuk mengatasi kondisi tersebut, jelas Prof. Yunus, vaksin merupakan pilihan yang cocok. Salah satu bahan vaksin yang masih dan sedang dieksplorasi serta mempunyai prospek yang baik adalah vaksin hidup dari stadium ookista (live vaccine) yang dapat dikembangkan, diproduksi secara masal serta dapat diaplikasikan di lapangan.
“Penelitian terdahulu yaitu pengembangan live vaccine menggunakan attenuated live vaccine stadium ookista Eimeria kurang berhasil dengan baik dikarenakan pengembangan vaksin tersebut biasanya terbatas pada salah satu isolat (spesies) Eimeria saja,” papar Prof. Yunus.
Prof. Yunus menyebut pengembangan polyvalent live seed vaccine dari stadium ookista spesies Eimeria dapat dilakukan dengan seleksi parent strain spesies Eimeria dari lapangan sebagai strain induk. Tidak hanya itu, lanjutnya, diatenuasi menggunakan metode modifikasi prepaten period dan dilakukan uji karakterisasi terhadap strain low virulence spesies Eimeria tersebut untuk sensitifitas terhadap obat, potensial reproduksi, patogenitas dan proteksi terhadap homologous dan heterologous challenges.
“Ada beberapa kriteria untuk pengembangan polyvalentlive vaccine agar efektif dan berkualitas antara lain strain harus sensitive terhadap obat, strain virulensinya harus rendah, harus mampu merangsang respon kekebalan serta dapat melindungi dari infeksi baik oleh strain induk atau strain dengan tingkat virulen yang berbeda dalam spesies yang sama,” tandasnya.
Pada akhir, Prof. Yunus mengatakan bahwa penggunaan attenuated coccidoisis polyvalent live vaccine, sangat signifikan mengurangi penggunaan koksidiostat serta efektif menurunkan kerugian dan biaya produksi akibat infeksi. Khususnya mengantisipasi bila terjadi pembatasan atau bahkan larangan penggunaan koksidiostat dimasa yang akan datang.
“Kita berharap efektifitas dan efisiensi penggunaan attenuated coccidoisis polyvalent live vaccinedapat mendukung peningkatan sustainability dan profitability pada industri perunggasan di Indonesia,” pungkasnya. (*)
Penulis: Muhammad Suryadiningrat
Editor: Nuri Hermawan