Maloklusi adalah suatu kondisi oklusi abnormal atau suatu kondisi yang menyimpang dari hubungan normal satu gigi dengan gigi lainnya. Organisasi Kesehatan Dunia (2016) menyebut maloklusi sebagai masalah kesehatan mulut tersering ketiga, setelah karies gigi dan penyakit periodontal. Prevalensi maloklusi bervariasi dalam populasi dari 21% sampai 90% dan variasi yang sangat besar ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan definisi maloklusi dan metodologi yang diterapkan.
Di Indonesia, prevalensi maloklusi mencapai 80% dari total penduduk. Maloklusi dapat mempengaruhi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mulut (OHR-QoL), menyebabkan masalah psikososial karena estetika dentofasial yang tidak tepat, masalah fungsi mulut seperti kesulitan dalam pergerakan rahang, gangguan TMJ, kesulitan mengunyah, menelan, berbicara dan rentan terhadap trauma dan penyakit periodontal. Perawatan ortodonti dapat digunakan untuk menggerakkan gigi agar mendapatkan oklusi yang normal sebagai perawatan untuk maloklusi. Namun, terdapat 33% kasus di perawatan ortodonti yang mengalami relaps setelah menggunakan alat ortodonti cekat selama 10 tahun. Relaps adalah suatu kondisi kembalinya gigi seperti sebelum perawatan ortodonti akibat tulang alveolar yang kurang memadai di area tarikan untuk mempertahankan posisi gigi.
Perawatan ortodonti yang selama ini dilakukan tidak maksimal dan maloklusi dapat terjadi kembali. Sampai saat ini, penggunaan retainer perawatan pasca ortodonti digunakan sebagai terapi pencegahan untuk perawatan relaps pasca perawatan ortodonti, namun aplikasinya dirasa kurang efektif karena pasien cenderung kurang kooperatif dalam menepati petunjuk dokter gigi untuk menggunakan retainer setelah perawatan ortodonti apapun atau bisa juga terjadi karena faktor lain. Dalam penelitian sebelumnya disebutkan ada 19% kasus kekambuhan masih terjadi setelah penggunaan retainer. Oleh karena itu, diperlukan inovasi untuk mengurangi kejadian relaps perawatan pasca ortodonti. Penggunaan retainer dapat dioptimalkan dengan menambahkan kombinasi Epigallocatechin-3-Gallate (EGCG) dan Stem cell from human exfoliated deciduous-teeth (SHED) dengan metode liofilisasi, yang dapat digunakan sebagai bahan yang berpotensi menginduksi osteogenik tulang alveolar untuk mencegah kekambuhan perawatan pasca-ortodonti. EGCG merupakan salah satu katekin yang banyak ditemukan pada Camellia sinensis (teh hijau) dan berpotensi sebagai osteoinduktif dengan meningkatkan ekspresi penanda tulang; seperti Bone Morphogenetic Protein 2 (BMP-2), alkaline phosphatase (ALP) dan runt-related transcription factor 2 (RUNX2) pada pembentukan matriks tulang.
Sedangkan SHED, merupakan salah satu sel punca yang dianggap memiliki sifat terbaik karena kemampuannya berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel. SHED dapat diisolasi dari pulpa gigi sulung pada anak dengan menggunakan teknik sederhana, tidak menimbulkan trauma. SHED menunjukkan kapasitas proliferasi yang baik dan memiliki kemiripan dengan MSC sumsum tulang, sehingga dapat terjadimenjadi sumber alternatif untuk rekayasa jaringan. Tujuan dari penulisan review ini adalah untuk menjelaskan potensi EGCG beku-keringdan kombinasi SHEDs sebagai anti-relaps biokompatibelbahan untuk perawatan pasca ortodonti.Liofilisasi EGCG dan SHED mungkin memiliki potensi untuk menginduksi osteogenesis sebagai bahan biokompatibel untuk perawatan anti-relaps pasca perawatan ortodonti.
Penulis: Alexander Patera Nugraha
Artikel dapat diunduh pada link: http://www.connectjournals.com/toc2.php?abstract=3182600H_2935A.pdf&&bookmark=CJ-033216&&issue_id=Supp-01%20&&yaer=2020