Persepsi Stigma Terhadap Orang dengan HIV-AIDS oleh Petugas Kesehatan Puskesmas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Medium.com

Stigma terhadap orang dengan HIV-AIDS (ODHA) oleh tenaga kesehatan dapat berdampak luas, maka perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya stigma. Tim peneliti mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi stigmatisasi ODHA oleh petugas kesehatan dari sudut pandang ODHA. Populasi kunci adalah populasi yang paling berisiko mendapat infeksi HIV karena perilakunya, seperti penasun (pengguna narkoba injeksi), pekerja seksual, gay dan waria. Penurunan persepsi terhadap stigmatisasi ini berdampak terhadap peningkatan kualitas hidup ODHA, meningkatnya kepatuhan minum obat, dan akhirnya akan mengurangi angka kejadian infeksi HIV itu sendiri.

Stigma terhadap ODHA yang muncul dari pikiran individu atau masyarakat yang percaya bahwa AIDS adalah akibat dari perilaku tidak bermoral yang tidak bisa diterima masyarakat, direfleksikan dalam sikap sinis, perasaan takut yang berlebihan, dan pengalaman negatif pada ODHA. Stigma dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat luas, tetapi juga bisa dilakukan oleh petugas kesehatan. Stigma akan memengaruhi cara pandang orang lain, penolakan sosial, penurunan penerimaan interaksi sosial, peningkatan diskriminasi, dan menambah beban keluarga.

Pasien ODHA pecanduan narkoba yang merasa terstigma mengurangi kemungkinan mencari pengobatan, untuk mereka yang telah menjalani pengobatan bisa jadi memilih untuk mengakhiri pengobatan. Selanjutnya, stigma mempengaruhi kehidupan ODHA dengan menyebabkan depresi dan kecemasan, kesedihan, rasa bersalah, dan perasaan tidak berharga. Selain itu, stigma dapat mereduksi kualitas hidup dan membatasi akses dan penggunaan kesehatan layanan. Pelabelan dan diskriminasi terhadap ODHA adalah hambatan terdepan dalam penularan mencegah HIV ke orang lain secara efektif dan juga dalam pemberian obat-obatan, perawatan, dan dukungan. Identifikasi faktor yang menyebabkan penurunan stigmatisasi oleh pekerja puskesmas akan meningkatkan kualitas hidup ODHA dan meningkatkan kepatuhan pengobatan. Subjek penelitian adalah ODHA di Klinik Rawat Jalan Unit Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi  (PIPI) Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.

Sembilan puluh empat ODHA diwawancarai mengenai persepsinya terhadap stigmatisasi oleh petugas kesehatan di tingkat puskesmas. 30 dari 94 pasien memiliki riwayat kelompok populasi kunci, dengan riwayat kelompok risiko terbanyak adalah penasun dan wanita pekerja seksual. Gambaran stigmatisasi oleh tenaga kesehatan menurut persepsi ODHA yaitu khawatir ketika mengambil darah, memberikan perawatan berkualitas rendah, dan menganggap seseorang terinfeksi HIV karena mereka terlibat perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Dalam penelitian ini, pasien ODHA dengan sejarah populasi kunci di masa lalu terbanyak adalah pengguna narkoba jenis suntik (penasun) dan wanita pekerja seksual sebanyak 9 orang. ODHA yang memiliki sejarah populasi kunci merasa mendapat stigma yang lebih rendah dari petugas kesehatan puskesmas dibandingkan ODHA yang tidak memiliki riwayat populasi kunci. Hal ini dikarenakan ODHA yang memiliki riwayat populasi kunci memiliki mentalitas psikologis yang terbiasa distigmatisasi di masyarakat. ODHA yang tidak memiliki riwayat populasi, kunci memiliki mentalitas yang berbeda dari ODHA yang memiliki riwayat populasi kunci karena mereka tidak terbiasa mengalaminya stigma dari masyarakat. HIV-AIDS membawa masalah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk orang itu, terlepas dari latar belakang, seperti tekanan psikologis yang parah dan merasa putus asa tentang masa depan, termasuk pekerjaan, kehidupan keluarga, kesehatan, dan harga diri. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa ODHA yang berusia 37 tahun atau lebih mendapat stigma yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia di bawah 37 tahun. Ini adalah karena orang dewasa yang lebih tua berada pada risiko yang signifikan mengalami stigma HIV.

Penelitian telah menunjukkan bahwa ODHA yang lebih tua mungkin mengalami stigma yang lebih besar karena stigma ganda menjadi HIV positif ditambah diskriminasi usia, yang biasanya disebut sebagai layering. Stigma yang terinternalisasi berdampak negatif pada harga diri dan kesejahteraan psikologis ODHA tua. Selanjutnya, ODHA yang sudah menikah mendapat stigma yang lebih rendah dibandingkan dengan ODHA yang tidak menikah. Dalam hal ini, faktor menikah dikaitkan dengan dukungan sosial. ODHA yang sudah menikah lebih tinggi dukungan sosialnya dibandingkan dengan ODHA yang tidak menikah.

Kesimpulan yang didapatkan oleh tim peneliti adalah ODHA dengan riwayat populasi kunci di masa lalu merasa dirinya kurang mendapat stigma dari petugas kesehatan puskesmas dibandingkan dengan ODHA dari populasi biasa. Usia tua dan status tidak menikah merasa mendapat stigma yang lebih tinggi dari petugas kesehatan di puskesmas. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat kebijakan untuk memulai program pengurangan stigma terhadap ODHA dimulai dari ODHA yang memiliki stigma tertinggi dan melatih petugas puskesmas untuk mengurangi stigmatisasi.

Penulis : Samsriyaningsih Handayani

Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada: https://www.ejournal.unair.ac.id/IJTID/article/view/15425/0

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).