Peran Lembaga Adat dalam Manajemen Konflik di Tanimbar

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Travel Tempo Co

Permintaan lahan di Kabupaten Tanimbar meningkat setiap tahunnya. Hal ini dipicu oleh misi Pemerintah Jokowi untuk membangun dari pinggiran. Akibatnya wilayah-wilayah perbatasan yang merupakan wilayah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) dipicu pembangunannya, termasuk Kabupaten tanimbar yang merupakan wilayah perbatasn antara Indonesia dan Australia. Pembangunan infrastruktur umum seperti jalan, jembatan dan pelabuhan ditingkatkan. Pembangunan untuk keperluan pertahanan karena posisinya di wilayah perbatasan juga dikebut. Wilayah Tanimbar menjadi menarik karena wilayah ini menjadi tempat eksplorasi minyak dan gas onshore blok Masela. Eksplorasi blok Masela sebelumnya akan dilakukan lewat offshore, namun keputusan tersebut diubah menjadi onshore pada tanggal 22 Maret 2016. Alasannya, agar masyarakat setempat mendapatkan manfaat lebih dari aktivitas eksplorasi onshore.

Sejalan dengan rencana onshore dan pembangunan 3T; terjadi peningkatan penjualan lahan di Tanimbar. Hal ini memunculkan konflik lahan karena status lahan di wilayah ini adalah tanah adat yang pengelolaannya berdasarkan kepemilikan oleh soa. Penelitian kami menganalisis manajemen konflik melalui mekanisme adat. Penelitian dilakukan di lima desa yang tersebar di dua kecamatan. Dua kecamatan ini juga terletak di dua pulau yang berbeda. Desa Bomaki, Desa Latdalam, dan Desa Lermatang di Kecamatan Tanimbar Selatan; Desa Adaut dan Desa Kandar di Kecamatan Selaru. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam terhadap 10 pemimpin soa, 10 staf desa, 2 sekretaris camat, dan 1 staf ahli Bupati terkait investasi. Kelima desa ini dipilih karena merupakan desa yang paling terdampak atas rencana eksplorasi onshore blok Masela dan pengembangan wilayah pertahanan di perbatasan. 

Lahan di lima desa ini berkurang banyak, beralih kepemilikan ke individu dan investor dari luar wilayah Tanimbar. Masyarakat banyak menjual tanahnya secara sukarela atau juga karena adanya tekanan kelompok. Dalam prosesnya, masyarakat adat tidak banyak diuntungkan. Minimnya pelibatan dalam proses negosiasi, potensi terpinggirkan dari wilayah adat, hinga minimnya kompensasi mewarnai banyak peristiwa jual beli. Hal ini memunculkan konflik. Menjadi menarik ketika intensitas konflik berbeda di masing-masing desa. Variable terikat yang kami temukan terletak pada peran lembaga adat. Peran ini terefleksikan dalam pembentukan legitimasi lembaga. Pertama, pengakuan Lembaga adat dalam struktur desa membuat setiap kebijakan yang diambil di tingkat desa dikonsultasikan dulu dengan tetua adat dan perwakilan soa di desa tersebut.

Dampaknya adalah masyarakat adat memiliki daya tawar yang lebih baik terhadap investor. Lembaga adat terlegitimasi secara struktur dan keterwakilan sehingga keputusan yang diambil memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat yang diwakili. Kedua, Lembaga adat menggunakan pendekatan-pendekatan duan lolat dalam pengelolaan konflik. Duan Lolat adalah hukum kebiasaan bersama yang selama ini dipratekkan dan dijunjung tinggi di masyarakat Tanimbar. Model pengelolaan duan lolat membuat pengelolaan konflik menjadi lebih murah dan meminimalisir munculnya konflik laten di kemudian hari. Untuk mengetahui diskusi kami lebih lanjut terkait bagaimana duan lolat digunakan untuk manajemen konflik serta interaksi soa di lima desa tersebut dapat dilihat dalam artikel jurnal kami di tautan berikut

Penulis: Citra Hennida , Yohanes William Santoso, Sri Endah Kinasih

Link terkait tulisan di atas: https://www.ijicc.net/images/vol_13/Iss_3/13313_Hennida_2020_E_R.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).