Meskipun mengalami kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, kesenjangan upah gender di Jepang cukup tinggi yaitu peringkat ketiga tertinggi di antara negara-negara OECD (OECD, 2018). Banyak penelitian sebelumnya menghubungkan kesenjangan upah gender yang tinggi dengan “status keluarga yang dimiliki pekerja wanita” (misalnya, Baum, 2002). Salah satu bagian dalam penelitian Doktoral saya bertujuan menyelidiki faktor penyebab “pekerja wanita yang memiliki anak dan bekerja di perusahaan regular di Jepang memperoleh upah lebih rendah dibandingkan dengan pekerja wanita lainnya yang tidak memiliki anak”. Artikel ini merangkum hasil penelitian terkait tema ini.
Sistem pasar kerja di Jepang unik, terkenal dengan dua karakteristiknya yaitu sistem kerja seumur hidup dan pembayaran upah berdasarkan senioritas. Perusahaan di Jepang setiap tahunnya merekrut lulusan baru untuk menjadi karyawan regular, memberikan pelatihan kerja on- the job training kepada karyawan berdasarkan keterampilan khusus perusahaan (company-specific skills) dan mempekerjakan mereka sampai usia pensiun. Sementara itu, dalam kaitannya dengan sistem pengupahan berdasarkan senioritas, karyawan memperoleh pembayaran gaji sesuai dengan lamanya masa kerja (job tenures). Dalam hal ini, kontinuitas kerja dengan satu perusahaan sangat penting bagi keberlangsungan jenjang karier dan hasil pasar kerja (upah) yang menguntungkan karyawan regular di Jepang. Adanya jaminan kerja sampai dengan usia pensiun dan pemberian kompensasi (upah) yang layak ini “menuntut” karyawan untuk bekerja secara maksimal sesuai dengan keinginan perusahaan (Flath, 2014 and JILPT, 2017).
Bagaimana dengan kondisi pasar kerja khususnya kesempatan
berkarier untuk wanita Jepang? Data statistik menunjukkan sebagian besar
pekerja wanita Jepang yang berhenti bekerja sementara waktu untuk melahirkan
dan membesarkan anak tidak bisa melanjutkan pekerjaan pertama sebagai
karyawan regular yang diperoleh setelah
lulus jenjang universitas. Banyak pekerja wanita dengan
anak harus berganti
pekerjaan dari pekerjaan
regular ke pekerjaan non-regular yang
menawarkan kondisi kerja dan upah yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan mereka
tidak bisa menyeimbangkan tugas rumah tangga, termasuk perawatan anak dengan
pekerjaan di kantor (JILPT, 2017).
Penelitian-penelitian sebelumnya terkait topik “faktor penyebab pekerja wanita dengan anak memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja wanita tanpa anak” menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab “pekerja ibu” memperoleh upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja wanita tanpa anak adalah mereka lebih memilih pekerjaan-pekerjaan yang bisa dikombinasikan dengan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak (mother-friendly jobs), seperti jenis pekerjaan paruh waktu (part-time). Namun demikian, penjelasan komprehensif tentang penyebab penurunan upah yang diterima pekerja ibu di pekerjaan regular belum banyak dibahas. Ini menjadi kontribusi dari penelitian saya.
Topik penelitian ini penting mengingat sebagian besar perusahaan reguler di Jepang menawarkan dua pilihan jenjang karier bagi pekerja wanita yang berkeinginan memiliki anak untuk tetap bisa melanjutkan pekerjaannya meskipun telah berstatus sebagai “pekerja ibu”. Pertama, jenjang karier umum adalah jalur karier yang mengikuti pola tradisional pekerjaan perempuan di mana jenjang karier ini memberikan beban kerja yang lebih ringan dan peluang yang terbatas untuk promosi atau transfer. Kedua adalah jalur karier terintegrasi yang menawarkan peluang dan tanggung jawab pekerjaan berupa promosi dan transfer serta kerja lembur yang setara dengan yang ditawarkan kepada pekerja pria (Fox, 2004). Dua pilihan jenjang karier ini diyakini memiliki konsekuensi yang berbeda pada upah wanita dan menjelaskan perbedaan upah antara kelompok pekerja wanita dengan anak dengan kelompok pekerja wanita tanpa anak.
Penelitian saya menggunakan pendekatan ekonometri untuk mengestimasi persamaan upah pekerja wanita dengan proksi variabel untuk kehadiran anak sebagai variabel independen utama untuk mengukur besarnya penurunan upah yang diterima “pekerja ibu”. Selain itu, beberapa karakteristik terkait modal manusia dan pekerjaan wanita diikutsertakan sebagai variabel kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama,
wanita yang memiliki
anak akan memperoleh upah yang lebih
rendah dibandingkan wanita tanpa anak yang bekerja di pekerjaan regular. Kedua, faktor yang
diduga menjadi penyebab wanita dengan anak menerima upah yang lebih rendah
dibandingkan wanita tanpa anak adalah adanya perbedaan pilihan jenjang karier
diantara kedua kelompok. Wanita yang memiliki anak memilih berada di “jalur
karier umum” yaitu jenjang karier yang diperuntukkan untuk pekerja ibu. Mereka
mungkin awalnya bekerja di jalur karier terintegrasi berdasarkan keterampilan
khusus perusahaan, tetapi setelah memiliki anak mereka beralih ke jenjang
karier umum. Sebaliknya, wanita tanpa anak memilih tetap berada di jalur karir
terintegrasi” berdasarkan keterampilan khusus perusahaan yang sama dengan jenjang karier untuk pekerja laki-laki.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah wanita Jepang mengalami situasi kerja yang tidak menguntungkan khususnya setelah memiliki anak. Mayoritas mereka harus berhenti kerja sementara untuk melahirkan anak. Mereka mengalami kesulitan untuk bisa melanjutkan karir mereka sebagai pekerja regular dalam jenjang karir berdasarkan keterampilan khusus perusahaan. Penelitian saya mencoba menyelidiki faktor yang menyebabkan upah pekerja ibu lebih rendah dibandingkan pekerja wanita tanpa anak, dan perbedaan jenjang karier yang dipilih kedua kelompok wanita ini diduga menjadi faktor penyebabnya.
Penulis: Magdalena Triasih Dumauli
Informasi lebih detail dari penelitian ini dapat detemukan pada jurnal ilmiah pada link berikut ini:
https://academicpublishingplatforms.com/article.php?journal=BEH&number=37&article=2672
Dumauli, Magdalena Triasih, 2019. “Motherhood wage penalty in Japan: What causes mothers to earn less in regular jobs?”, Business and Economic Horizons, Vol.15, Issue3, pp.375-392. DOI:http://dx.doi.org/10.15208/beh.2019.22