TKI dan Janji Jokowi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Bangka Pos

Tak perlu berlama-lama dalam euforia kemenangan, pemerintahan Presiden Jokowi di periode kedua ini haruslah mampu menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang menumpuk. Diantaranya adalah janji lindungi TKI, yang sekarang disebut sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Tengok saja bagaimana RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU-PPMI) yang telah disahkan menjadi UU Nomor 18 tahun 2017 masih dalam posisi yang tidak jelas saat ini. Janji Kementrian Tenaga Kerja yang akan merampungkan aturan turunan bulan November 2019 patut dikawal sehingga implementasi UU baru ini tidak berlarut-larut. Karena PMI terlalu lama berada dalam ketidakpastian perlindungan. Sementara mereka harus berjibaku bekerja di luar negeri. Semua demi kehidupan yang layak bagi keluarganya di kampung halaman.

Terlalu lama menunggu

Pemerintahan dan Dewan dari periode ke periode terbukti tidak serius membahas perlindungan PMI. Rentang waktu lamanya pembahasan revisi UU Nomor  39 Tahun 2004 yang menjadi agenda Prolegnas DPR-RI sejak 2010 nyatanya baru disahkan menjadi UU tahun 2017. Dalam masa itu sudah tidak terhitung Pekerja Migran kita yang menjadi korban dari situasi yang disebut oleh para aktivis HAM sebagai the modern-day slavery (perbudakan era modern). Banyak yang diperlakukan tidak manusiawi. Mereka dipaksa bekerja long-shift, diupah dibawah standard, bahkan disiksa dan dilecehkan secara fisik dan mental.

Dalam bukunya Follow the Maid: Domestic Workers Migration in and From Indonesia (2018), Olivia Killias menggambarkan bahwa PMI telah mengalami masalah bahkan sejak awal proses rekrutmen. Para calon PMI dijanjikan proses aplikasi yang mudah dengan pelatihan yang disediakan PJTKI. Namun berubah menjadi masalah ketika mereka harus menanggung biaya pelatihan dan penempatan yang dipotong dari gaji mereka saat sudah bekerja. Potongan ini besarannya tidak kepalang: tiga sampai empat kali lipat gaji per bulan. Akhirnya PMI bekerja dengan gaji yang sangat minim karena sebagian besar ditransfer ke PJTKI. Efek dari overcharging ini tidak main-main. Banyak PMI harus berurusan dengan rentenir, karena terpaksa hutang untuk membiayai hidupnya dan keluarganya di rumah.

Belum lagi urusan penyiksaan PMI yang – tragisnya – masih terjadi hingga saat ini. Kisah pilu PMI yang disiksa majikannya rutin menghiasi media massa kita. Sri Wahyuni, PMI asal Lombok yang disiksa dan diperdagangkan oleh majikannya di Arab Saudi menjadi headline pada Juli 2019. Seperti layaknya budak, Sri menjadi komoditas yang dijualbelikan. Ini adalah bukti nyata human trafficking (perdagangan manusia). Kita juga belum lupa dengan tragedi yang dialami Erwiana Sulistyaningsih, PMI asal Ngawi yang disiksa majikannya, dan berhasil diselamatkan saat terlunta-lunta di Bandara Hong Kong pada Januari 2014. Dia berhasil bangkit dan melawan berkat bantuan komunitas PMI di Hong Kong sampai akhirnya memenangkan kasusnya di pengadilan Hong Kong dan mendapat ganti rugi yang layak.

Apa yang terjadi diatas adalah sekelumit kejadian yang bisa dicegah seandainya Pemerintah kita serius menangani persoalan buruh migran. Benar bahwa ada pembenahan strategis di UU PPMI yang baru. Misalnya terkait pengurangan peran PJTKI, pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah, penghapusan biaya penempatan, dan desentralisasi perlindungan PMI. Namun jika tidak segera diterapkan, maka akan muncul korban-korban baru akibat ketidakseriusan kita dalam mengimplementasikan UU tersebut.

Janji Jokowi

Dalam janji kampanye di Bandung (09/04/2019), Jokowi berkomitmen untuk melindungi PMI. Dia memberi contoh kasus Siti Aisyah yang lolos dari jerat hukuman mati di Malaysia akibat kerja keras Pemerintah dalam melobi Malaysia. Jokowi mengulang janjinya tersebut pada peringatan Hari Buruh pada 01 Mei 2019. Namun, Jokowi sepertinya lupa bahwa melindungi bukan berarti hanya hadir saat PMI sudah terkena masalah. Pencegahan lebih penting untuk dilakukan melalui mekanisme UU dan penegakannya di setiap lini.

Momentum pembentukan Kabinet baru merupakan titik krusial keseriusan Jokowi dalam menangani persoalan perlindungan PMI. Perlu dipilih Menteri Tenaga Kerja yang mengerti dan berpihak pada perlindungan PMI. Aturan turunan UU Nomor 18 tahun 2017 perlu segera dituntaskan, sehingga tidak ada peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk mencari keuntungan dari kondisi terpuruk PMI.

Namun jika kalkulasi politik lebih dikedepankan, dan pada akhirnya masalah perlindungan PMI ini hanya jadi kosmetik kampanye, maka siap-siap saja kita mengkonsumsi lebih banyak berita tentang PMI malang yang disiksa dan diperbudak di luar negeri. UU PPMI pun hanya menjadi prasasti yang selama dua tahun sejak disahkan tidak terdengar implementasinya secara nyata.

Penulis: Irfan Wahyudi

Berikut link terkait artikel di atas: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10304312.2019.1652042?journalCode=ccon20

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).