UNAIR NEWS – Berawal dari sekadar coba-coba ikut tes seleksi kepegawaian, kini Sugiyana, alumnus program studi S-1 Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga telah menapaki karirnya sebagai penanggung jawab sebuah laboratorium di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
Ia sebelumnya tak menyangka bahwa dirinya akhirnya diterima di badan yang menggawangi perkembangan penggunaan energi nuklir di Indonesia itu. Usai menamatkan kuliahnya di S-1 Fisika, ia lantas mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke berbagai instansi. BATAN menjadi salah satu sasarannya.
“Nggak ada niat untuk masuk BATAN karena saya juga mengikuti tes di militer pada saat itu,” tutur Sugiyana ketika dihubungi via telepon, Senin (23/1).
Ia kini bertanggung jawab atas salah satu Laboratorium Kedaruratan Nuklir yakni Laboratorium Whole Body Counter. Berkantor di Jakarta, pria asal Magetan itu bertugas memeriksa karyawan yang diduga terkontaminasi interna oleh zat radioaktif.
“Tugas saya adalah memeriksa karyawan yang kontak dengan radioaktif. Setiap negara kan harus punya kedaruratan nuklir. Di Indonesia itu ya di BATAN, dan saya adalah penanggung jawabnya,” tutur Sugiyana yang mulai bekerja di BATAN pada tahun 1992.
Sebagai pranata nuklir, ia mengatakan, pekerjaannya ini mengharuskan dirinya untuk banyak-banyak memperbarui ilmu baru di bidang spektroskopi dan instrumentasi pendukungnya. Sugiyana harus belajar tentang internal dosimetri serta merawat alat supaya dapat bekerja dengan baik. Ia dan timnya juga wajib menjaga mutu hasil pengukuran sehingga hasil pengukuran dapat diakui oleh internasional.
Untuk menambah pengetahuannya di bidang tenaga nuklir, Sugiyana pernah melakukan pendidikan dan pelatihan di luar pendidikan formalnya. Ia pernah mengikuti pelatihan Internal Exposure Monitoring di Japan Atomic Energy Research Institute (JAERI), dan Pemodelan dan Simulasi Komputer di Pusdiklat BATAN, Radiation Measurement and Nuclear Spectroscopy di BATAN-JAERI.
Ia juga pernah mengikuti pelatihan Aplikasi Statistik untuk Pengolahan Data di Pusdiklat BATAN, Radiological Emergency Preparedness and Response di BATAN dan Japan Atomic Energy Agency (JAEA), serta Chemical, Biological, Radiological, and Nuclear (CBRN) First Responder Training Program di Defence Research and Development, Kanada.
Meski ia menjadi pranata nuklir, alumnus Fisika tahun angkatan 1985 itu juga melakukan publikasi. Beberapa di antaranya Tingkat Ketelitian Alat Whole Body Counter Accuscan Canberra Model 2260, Status Prototipe Whole Body Counter Mobile Dual Probe, dan Pembuatan Phantom Manekin 5 Kelompok Umur untuk Kalibrasi Alat Whole Body Counter.
Ditanya mengenai opini pribadinya mengenai masa depan energi nuklir di Indonesia, Sugiyana menuturkan bahwa dirinya sepakat apabila energi nuklir lebih banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Karena energi nuklir sangat murah dan terjamin. Kita juga nggak perlu takut dengan perkembangan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Entah kenapa pemerintah lebih mengedepankan bahan bakar fosil atau batu bara itu,” tegasnya.
Fisika
Dulunya, Sugiyana mengakui tak begitu tertarik dengan salah satu bidang ilmu tertua di dunia. Pada saat tes mahasiswa baru, ia menempatkan prodi Teknik Kelautan pada pilihan pertama, dan Fisika pada pilihan kedua.
“Saya asal saja menempatkan jurusan Fisika. Pokoknya, di Jatim. Akhirnya, saya milih di UNAIR,” cerita Sugiyana.
Ia mengakui, semasa kuliah di S-1 Fisika dulu bukan termasuk mahasiswa yang aktif berorganisasi maupun mengikuti konferensi ilmiah. Ketika ditanya, berapa IPK-nya? Ia menuturkan IPK-nya dulu tak lebih dari 2,50 dari skala 4,00.
“Dulu satu angkatan tertinggi sekitar 2,80,” tuturnya.
Ia lantas berpesan kepada mahasiswa UNAIR agar sering memanfaatkan berbagai kesempatan kompetisi-kompetisi mahasiswa antar universitas. “Mahasiswa harus banyak-banyak mengikuti kompetisi antar universitas,” pesannya. (*)
Penulis : Defrina Sukma
Editor : Faridah Hari