Perjalanan Cara Pandang Australia pada Indonesia di Masa Gough Whitlam

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pradipto Niwandhono Ph D, Pembicara Diskusi Buku “Indonesia di Mata Australia: Pemikiran dan Kebijakan Gough Whitlam”. (SS Zoom)

UNAIR NEWS – Hubungan Indonesia tidak terlepas dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Salah satunya Australia. Kiprah hubungan keduanya mengalami pasang surut seperti pada masa Perdana Menteri Gough Whitlam.

Mendiskusikan perihal itu, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan diskusi buku yang bertajuk “Indonesia di Mata Australia: Pemikiran dan Kebijakan Gough Whitlam”. Tepatnya pada Selasa (15/3/2022) via Zoom Meeting.

Hadir Pradipto Niwandhono Ph D selaku dosen UNAIR. Ia menerangkan bagaimana buku Indonesia di Mata Australia dapat mengubah cara pandang Negeri Kanguru terhadap Indonesia pada era Perang Dingin.

Menurutnya, Akhmad Khusyairi, penulis buku tersebut, mampu memelopori cara pandang penulisan yang berbeda dengan melihat posisi Australia secara global baik di Eropa maupun di Asia.  

Ilustrasi hubungan Indonesia dan Australia. (Foto: Universitas Islam Indonesia)

Pengaruh Eropa

Menurut Pradipto, cara pandang Australia terhadap Indonesia awalnya sangat dipengaruhi Eropa. Mengingat, Australia merupakan Koloni Inggris. 

Meski demikian, secara geografis, Australia berada di Asia Pasifik. Yang mana sangat bergantung dengan Asia (negara terdekat). Karena itu, sebut Pradipto, Australia lalu berupaya mengembangkan cara pandang Asia.

“Sehingga, jika Australia masih membawa basic mindset dari barat maka akan terisolasi dari hubungan (negara Asia-Oseania, Red),” ujarnya.

Saat itu Whitlam membuat Australia menjadi middle power. Pemikiran tersebut sudah ada sejak pasca-PD II. Sebab, saat itu Imperium Eropa terguncang pasca-PD I. 

“Sehingga pasca tahun 1945, Australia mengalami pergeseran politik dengan mengikuti Amerika (ANZUS dan SEATO),” imbuhnya.

Mengubah Cara Pandang

Pradipto menambahkan, setelah PD II, masyarakat Australia mengalami berbagai fobia akibat migrasi orang Asia. Namun, pada masa Perang Dingin, Whitlam mampu berhubungan baik dengan negara sekitar, termasuk Indonesia.

Whitlam adalah orang yang cukup sensitif terhadap isu kemanusiaan dan akomodatif terhadap world thirdism (negara dunia ketiga atau negara berkembang). Setelah terselenggaranya Bandung Conference (KAA), ia mulai bersikap terbuka terhadap negara dunia ketiga. 

Solidaritas dunia ketiga yang diusungnya adalah kekuatan politik regional yang dapat memungkinkan Australia dapat independen dan ingin menjadi negara berpengaruh. Seperti halnya negara di Eropa dan Amerika.

“Jika Australia mampu membangun posisi tawarnya pasca Whitlem seperti hubungannya dengan Soeharto terhadap Irian Barat dan Timor Timur, maka itu dapat mengubah pandangan Australia sendiri maupun dunia yang lebih friendly terhadap politik Asia,” pungkasnya. 

Penulis: Affan Fauzan

Editor: Feri Fenoria

Baca juga:

Pahami Pentingnya Kegiatan Magang Bagi Mahasiswa

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp