Politisasi Kesalehan: Hak dan Peran Perempuan dalam Gerakan Tarbiyah di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by IndoPROGRESS

Gerakan feminis Islam di Indonesia yang dimulai pada 1990-an bukanlah satu-satunya gerakan Islam pada masa Orde Baru. Tahun 1980-an menandai kebangkitan gerakan Islam yang telah ada sebelumnya. Salah satunya adalah gerakan Dakwah yang dimulai di kampus-kampus sekuler, seperti di ITB (Institut Teknologi Bandung). Gerakan Dakwah sendiri bukanlah gerakan yang homogen karena ada bagian lain, seperti Hizbut Tahrir, Darul Arqam, dan Tarbiyah (pendidikan) yang berpusat di kampus-kampus universitas.

Sebagai bagian dari Gerakan Dakwah atau Gerakan dakwah Kampus, gerakan Tarbiyahlah yang paling banyak dikenal dan memiliki anggota paling banyak, terutama mahasiswa yang aktif terlibat dalam kegiatan masjid kampus atau SKI (Sie Kerohanian Islam. Tarbiyah, atau lebih dikenal dengan “Kampus Islami”, terutama terdiri dari mahasiswa dan lulusan yang memulai pendidikan atau “persuasi” di Masjid Salman, ITB pada 1980-an. Gerakan tersebut kemudian mengilhami kegiatan serupa di berbagai tempat, baik di kampus-kampus yang berafiliasi dengan Islam seperti di Institut Islam Negeri dan khususnya di kampus-kampus “sekuler” Fenomena ini menurut Machmudi yang menulis disertasinya tentang Jamaah Tarbiyah di tahun 2006, menunjukkan munculnya tipe baru umat Islam yang taat yang berbeda dari generasi orang tuanya dalam hal ideologi dan tradisi keagamaan.

Terinspirasi oleh gerakan keagamaan di Timur Tengah, Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jemaah Tarbiyah telah memainkan peran sebagai agen pembaruan agama dan pada saat yang sama telah memulai aktivitas politik untuk menampilkan diri sebagai kekuatan persatuan ummat Islam terlepas dari orientasi keagamaan individu dalam jajarannya. Dalam menjalankan reformasinya, Jemaah Tarbiyah telah menunjukkan strategi yang akomodatif untuk menghindari perselisihan dan perlawanan agama di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya.

Tidak seperti kebanyakan gerakan sosial di dunia, atau di Indonesia pada khususnya, gerakan Tarbiyah tidak hanya berkisar pada gerakan sosial, tetapi gerakan itu juga mencakup agama atau ketakwaan. Penting dilihat, selain mobilitas sosial yang terjadi melalui gerakan ini, wilayah agama atau ketakwaan menjadi penanda politisasi yang sangat penting. Hal ini melibatkan relasi eksternal, tidak hanya antara individu dan agama di ranah privat, tetapi juga individu, agama, dan dimensi sosial di ranah publik.

Munculnya gerakan Tarbiyah semakin menunjukkan kompleksitas persoalan tentang perempuan dan perannya dalam Islam di Indonesia. Sayangnya, masih sangat sedikit ulasan atau penelitian dan tulisan tentang peran perempuan dalam gerakan Tarbiyah. Materi lebih banyak ditemukan tentang hubungan peran perempuan dan buku pedoman Islami. Buku-buku inilah yang memberikan teladan atau tip bagaimana menjadi perempuan muslimah atau perempuan sakinah yang berbudi luhur, tanpa memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kompleksitas peran perempuan dalam Islam.

Salah satu hal menarik yang menjadi ciri khas gerakan Tarbiyah adalah bentuk segregasi yang tetap berlaku dalam ajaran gerakan ini, meskipun anggotanya cukup akrab dan mendukung nilai-nilai masyarakat sipil. Perempuan dan laki-laki tidak boleh bercampur dalam satu ruangan tanpa adanya sekat. Namun, yang lebih penting adalah bahwa para aktivis perempuan sangat menyadari negosiasi mereka saat mereka berpindah masuk dan keluar dari gerakan, dengan hak dan peran yang dikandungnya. Aktivis perempuan diperbolehkan untuk memilih komitmen mereka baik di dalam maupun di luar gerakan. Berada di dalam dan di luar datang dengan tanggung jawab dan peran yang berbeda. Kebebasan untuk memilih bagi para anggota ini menandakan hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Kesadaran mereka akan hak-hak seperti itu bagi perempuan adalah hasil yang tidak banyak berasal dari gerakan itu sendiri, tetapi fakta bahwa di sekolah, khususnya di tingkat universitas, perempuan diajarkan kesadaran feminis yang kuat dan didorong untuk mengambil bagian dalam peran publik. Sejak gerakan kemerdekaan Indonesia (1908-1945), perempuan selalu aktif berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Selanjutnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kesetaraan gender dengan mengatakan bahwa semua warga negara adalah sama menurut hukum dan oleh pemerintah (UUD 1945, Pasal 27). Konstitusi ini pada dasarnya melindungi dan mendukung hak-hak perempuan dan partisipasi perempuan di semua sektor kehidupan.

Pemisahan perempuan dan laki-laki hanya menunjukkan pemisahan ruang tetapi bukan kesalehan. Perempuan aktif baik di ranah domestik maupun publik. Dalam hal kesalehan, para aktivis perempuan ini percaya bahwa kesetaraan adalah aturan. Ketika iman penting, kesetaraan juga berperan, artinya kesalehan adalah sama bagi perempuan dan laki-laki, terlepas dari perbedaan gender.

Selain ketakwaan perempuan, perempuan anggota Tarbiyah juga memiliki ciri-ciri feminisme Islam yang memungkinkan mereka tampil di ruang publik. Perempuan memang bisa menjadi pemimpin di Indonesia, meski bukan pemimpin agama. Perempuan setara dengan laki-laki ketika menjadi kader atau aktivis. Disiplin yang kuat diperlukan baik untuk pria maupun perempuan. Disiplin semacam itu sebagian besar terkait dengan laki-laki, tetapi juga dianut oleh kaum perempuan dari gerakan Tarbiyah, terutama yang berhubungan dengan ketakwaan.

Akhirnya, apabila berbicara tentang kesalehan, hak, dan peran perempuan dalam gerakan Tarbiyah adalah perlu dipahami bahwa versi kesalehan, hak, dan peran ini, bagaimanapun, tidak monolitik atau tidak fleksibel. Mungkin ada alternatif dan lebih banyak variasi cara para aktivis ini memahami dan menegosiasikan posisi mereka sebagai perempuan Muslim, terutama ketika konteks, lokasi, dan ruang yang berbeda berlaku.

Penulis: Prof. Diah Ariani Arimbi

Link:https://www.worldcat.org/title/explorations-in-women-rights-and-religions/oclc/1108785440

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp