Penulisan Biografi Sejarah Tokoh Banyuwangi KH Achjat Irsyad

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh muslimoderat.net

Dalam sejarah Banyuwangi terdapat sosok yang mempunyai peranan menonjol dalam bidang sosial, politik dan dakwah pada sepanjang masa pendudukan militer jepang hingga orde baru. Sosok tersebut bernama Kyai Achjat Irsjad yang masyhur sebagai figur dermawan, alim dan aktivis organisasi Nahdlatul Ulama terekam aktif memainkan peran di dunia pergerakan. Peranan yang kentara diantaranya ialah memprakarsai Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan, berpartisipasi di Musyawarah Nasional Alim Ulama Seluruh Indonesia Pertama, dan berkontribusi dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan di Banyuwangi bagian selatan.  Kiprah Kyai Achjat Irsjad di dunia pergerakan tersebut tidak terlepas oleh dawuh yang diterimanya dari Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari tatkala masih menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang untuk melakukan dakwah di ujung timur pulau Jawa seraya mengembangkan organisasi Nahdlatul Ulama di Banyuwangi.

Pengembaraan Kyai Achjat Irsjad di Banyuwangi bermula sekitar tahun 1937 menuju kediaman Kyai Dimyati Syafi’i di Desa Kepundungan, Srono berbekal alamat yang tertulis di secarik kertas.  Kyai Achjat Irsjad ahirnya bertemu kemudian mengajak Kyai Dimyati Syafi’i untuk membantu menggerakkan lebih cepat roda organisasi Nahdlatul Ulama di Banyuwangi. Diajaknya Kyai Dimyati Syafi’i dikarenakan posisinya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Kepundungan, Srono yang merupakan sosok ulama kharismatik dengan basis jejaring kyai-santri yang kuat di Banyuwangi wilayah selatan. Basis massa yang demikian kuat dinilai oleh Kyai Achjat Irsjad akan lebih mempermudah perjuangan dakwah dalam rangka membesarkan Nahdlatul Ulama di Banyuwangi. Perjuangan dakwah Kyai Achjat Irsjad di bumi blambangan dimulai ketika merintis Nahdlatul Ulama Ranting Kebaman pada 1940 dan Kyai Dimyati Syafi’I menjadi salah satu pengurus didalamnya.  Sejak Nahdlatul Ulama Ranting Kebaman berdiri, kerja-kerja dakwah melalui wadah organisasi yang dilakukan dari desa ke desa masif dikerjakan sehingga banyak kyai-kyai yang semula ragu bergabung ke organisasi Nahdlatul Ulama ahirnya sadar kemudian bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Buah menggembirakan dari hasil kerja-kerja organisasi Kyai Achjat Irsjad tersebut bersamaan dengan pendudukan militer Jepang yang secara resmi mengakui kembali organisasi Nahdlatul Ulama dengan memberikan keleluasaan Nahdlatul Ulama untuk kembali beraktivitas  sehingga menimbulkan gairah besar di kalangan elit Nahdlatul Ulama di Banyuwangi untuk membesarkan jam’iyahnya. Gairah itu ditandai dengan adanya pemekaran kepengurusan Nahdlatul Ulama di Banyuwangi.

Kyai Achjat Irsjad tumbuh dewasa dalam ruang tradisi dan pendidikan pesantren walaupun secara trah, Ia tidak terlahir dari kalangan ulama, namun keluarganya tergolong sebagai pemeluk agama Islam yang taat sehingga mengantarkannya menempa diri di lingkungan santri. Terlebih, sejak kedua orang tuanya meninggal pada 1913, Kyai Achjat Irsjad hanya bersama sang nenek sehingga membuatnya mengalami kekurangan asupan wawasan pengetahuan dan ilmu keagamaan Islam. Oleh sebab itu, Kyai Achjat Irsjad mulai menghabiskan waktunya di perantauan demi menambah asupan intelektual dan spiritualnya mulai dari bekerja di Kota Surabaya hingga menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang dalam kurun waktu 1927 hingga 1937.

Menginjak dewasa, pada usia 21 tahun, Kyai Achjat Irsjad mulai mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, tepatnya pada 19 Desember 1931.  Selama di pondok pesantren asuhan Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari inilah intelektualitas dan spiritualitas Kyai Achjat Irsjad ditempa. Selain karena peristiwa penyampaikan kabar ihwal rencana penyerangan kepada Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari dan pondok pesantrennya, dipilihnya Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang oleh Kyai Achjat Irsjad didasari oleh dua faktor sebagaimana pada umumnya: Pertama, letak geografis tempat tinggal; di pedesaan. Mayoritas kala itu, pondok pesantren berdiri di desa-desa untuk menghindari pengawasan ketat pemerintah kolonial.  Kedua, kondisi taraf ekonomi; menengah ke bawah.

Proses pematangan kualitas spiritual dan kapasitas intelektual Kyai Achjat Irsjad terjadi selama di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang pada fase berikutnya menjadi bekalnya untuk mengemban misi krusial mengembangkan Nahdlatul Ulama di Banyuwangi. Kualitas spiritual matang lewat segenap aktivitas pendidikan agama khas pondok pesantren, sementara pemantapan kapasitas intelektual tercetak berkat aktivitas ekstrakurikuler yang diikuti oleh Kyai Achjat Irsjad. Selama menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Kyai Achjat Irsjad dikenal sebagai santri yang rajin dan tekun dalam mengikuti kelas-kelas kajian teks-teks klasik; kitab kuning berbagai tema semisal aqidah akhlak, fiqih, nahwu, dan hadist.

Kapasitas intelektual, khususnya dalam bidang kepimpinan dan keorganisasian selain terbentuk melalui proses menjadi lurah pondok, juga terbangun lewat keikutsertaanya dalam organisasi Ikatan Pelajar-Pelajar Islam (IKPI) yang diprakarsai oleh Kyai Wahid Hasyim pada 1936. Organisasi tersebut mewadahi para pelajar islam baik dari kalangan pesantren maupun di luar pesantren. Kyai Achjat Irsjad berkecimpung sebagai anggota dalam IKPI selama kurang lebih satu tahun dan menjadi bekal ilmu keorganisasian dan kepemimpinan Kyai Achjat Irsjad sebelum keberangkatan ke ujung timur pulau jawa untuk menggerakkan roda organisasi Nahdlatul Ulama.

Pendidikan karakter dilingkungan keluarganya dapat dipahami sebagai tahap penyemaian pengetahuan dasar keIslaman sementara di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang merupakan fase pematangan spiritual dan intelektual sekaligus menjadi penanda titik keberangkatannya sebelum lepas landas menjadi seorang aktivis di Nahdlatul Ulama Banyuwangi, melaksanakan dawuh Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang memberikan sumbangsih besar dalam proses pembentukan watak aktivisme Kyai Achjat Irsjad melalui variabel pengajaran teks-teks klasik; kitab kuning maupun aktivitas lainnya semisal selama menjadi Lurah Pondok dan keikutsertaanya dalam membantu Kyai Wahid Hasyim menghidupi organisasi Ikatan Pelajar-Pelajar Islam.

Peranan KH Achjat Irsjad untuk Banyuwangi

Kyai Achjat Irsjad berkontribusi terhadap kemajuan kehidupan sosial masyarakat Banyuwangi selama kiprah aktivismenya. Bentuk kontribusinya adalah membidani kelahiran Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan dan memperbesar akses pendidikan dan keagamaan melalui pendirian madrasah dan masjid/mushola. Organisasi, ruang-ruang pendidikan dan keagamaan yang ada pada fase berikutnya berdampak positif terhadap perkembangan kualitas masyarakat Banyuwangi pada masa-masa setelahnya.

Kiprah Kyai Achjat Irsjad di kepengurusan Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan sebagai ketua tanfidziyah membuatnya dapat memainkan peranan krusial dalam proses pengembangan kualitas masyarakat Banyuwangi dengan memperluas akses pendidikan lewat pendirian madrasah-madrasah. Pada 1939, Kyai Achjat Irsjad berkontribusi untuk mendesak dan membantu Kyai Dimyati Syafi’i mendirikan Madrasah Nahdlatul Thullab yang kala itu menjadi bagian dari Pesantren Kepundungan, Srono. Aktivitas belajar mengajar Madrasah Nahdlatul Thullab memfasilitasi jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga atas sekaligus.

Pergerakan Kyai Achjat Irsjad di bidang sosial berfokus pada pembangunan infrastruktur pendidikan dalam rupa madrasah dilatar belakangi oleh lingkungan kyai-santri yang merupakan teman pergaulan kesehariannya selama aktif di Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan. Pada kisaran 1950 an awal, Kyai Achjat Irsjad mengikuti forum musyawarah kyai-kyai Banyuwangi yang waktu itu membahas terkait pembagian fokus kerja-kerja sosial kemasyarakatan. 

Peranan Kyai Achjat Irsjad dalam bidang sosial keagamaan terlihat dari beberapa rumah ibadah yang berhasil didirikan tatkala mengampu amanah sebagai Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan. Sebagai seorang elit tradisional, Kyai Achjat Irsjad dengan kapital kekuasaan dan kewibawaannya memiliki pengaruh kuat untuk menggerakkan segenap elemen masyarakat guna melangsungkan proyek pembangunan. Kekuasaan tersebut dipergunakan dengan baik oleh Kyai Achjat Irsjad untuk menggandeng masyarakat akar rumput dan penyandang dana dalam proses pembangunan masjid dan mushola-mushola desa. Dalam sebuah laporan tahunan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Blambangan, disebutkan bahwa pada 1962 pembangunan tempat-tempat ibadah mencatatkan capaian yang gemilang.

Terjunnya Kyai Achjat Irsjad ke gelanggang politik praktis disebabkan terjadinya metamorfosis Nahdlatul Ulama menjadi partai politik pada 1952 dan realitas tensi politik kala itu yang meninggi karena persaingan peneguhan kuasa ideologi politik maupun agama di ruang publik. Kepemimpinan Kyai Achjat Irsjad sebagai ketua tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Blambangan sepanjang periode 1944-1962 mengalami dua momentum tersebut. Keaktifan Kyai Achjat Irsjad memimpin Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan ahirnya menyeretnya ke arena politik praktis sehingga perjuangan-perjuangannya dalam membesarkan Nahdlatul Ulama di Banyuwangi wilayah selatan selalu dekat dengan kalkulasi dan aktivitas politik. Karena, di cakupan wilayah Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan dari 58 desa, hanya 5 kepala desa yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama sedangkan sebagian besar sisannya dikuasai oleh kepala desa dari kader-kader Partai Komunis Indonesia. 

Posisi Kyai Achjat Irsjad dalam gelaran kontestasi politik, selain sebagai Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan juga sebagai anggota Dewan Partai Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan.  Pada Pemilu 1955, Kyai Achjat Irsjad berperan mengusulkan nama-nama calon anggota DPR dan anggota Konstituante kepada Lapunu. Sayangnya dalam Pemilu edisi perdana tersebut, tidak ada satupun calon dari Banyuwangi yang terpilih sebagai anggota DPR, namun disisi lainnya ada satu calon yakni KH. Harun Abdullah yang lolos sebagai anggota Konstituante. 

Kyai Achjat Irsjad tidak hanya terlibat aktif dalam Pemilu skala kedaerahan namun juga mengawal pesta demokrasi ditingkat nasional bahkan juga di skala pedesaan. Perhatian Kyai Achjat Irsjad terhadap pesta demokrasi skala nasional dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab politiknya sebagai petinggi Nahdlatul Ulama Cabang Blambangan. Sementara di tingkat pedesaan, dilakukan oleh Kyai Achjat Irsjad sebagai upaya meraba  peta politik ditataran grass  root yang kala itu Nahdlatul Ulama sebagai minoritas politik sedang berupaya meningkatkan pencapaian dan pengaruh politik di Banyuwangi wilayah selatan dengan mengamankan basis massa di pedesaan.

Sementara itu pada Pemilu skala nasional, perhatian Kyai Achjat Irsjad juga dapat ditengok dalam buku catatan harian yang lain miliknya. Misalnya, Kyai Achjat Irsjad menuliskan jadwal pemilihan DPR yang dihelat pada 29 September 1955, pemilihan Konstituante pada 15 Desember 1955, dan pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten pada 29 Juli 1957 dan pelantikannya pada 17 Desember 1957.

Dari narasi cerita di atas dapat dijadikan pembelajaran bagi generasi muda masyarakat Banyuwangi khususnya bahwa pada masa lalu ada tokoh besar yang patut untuk diteladani dalam tingkat lokal. Keteladanan pada tokoh lokal ini sangat penting untuk membangkitkan identitas karakter yang bersumber pada nilai-nilai lokalitas.

Penulis: Moch Sholeh Pratama dan Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari

Link: https://scholar.google.co.id/citations?user=jkH5g_IAAAAJ&hl=en

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp