Pakar UNAIR Ulas Solusi Lamanya Waktu Tunggu Ibadah Haji

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Ibadah haji merupakan impian oleh hampir semua umat Muslim di dunia. Kendati demikian, waktu tunggu yang lama serta biaya yang relatif tinggi, merupakan dua hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan haji untuk masyarakat Indonesia.

Menindaklanjuti hal itu, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UNAIR) kemudian mengulasnya melalui kegiatan lokakarya (workshop, Red) dan bedah buku bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kegiatan tersebut diselenggarakan pada Rabu (19/01/2022).

Prof. Dr. Raditya Sukmana, S.E., M.A., yang didapuk menjadi salah satu narasumber membandingkan keadaan waktu tunggu keberangkatan haji di Indonesia dan Amerika. “Kalau di Indonesia, orang yang berhaji harus menunggu sekitar 30 tahun. Tapi kalau di Amerika, bisa 0 tahun yang artinya tidak perlu menunggu lama,” tuturnya.

Prof. Dr. Raditya Sukmana, S.E., M.A Guru Besar FEB UNAIR. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Lamanya waktu tunggu keberangkatan haji, sebenarnya juga berlandaskan pada beberapa faktor. Seperti halnya yakni terbatasnya fasilitas dan jumlah calon jamaah yang banyak.

“Karena fasilitasnya disana (Mekkah, Red) itu juga terbatas. Tapi antrean daftar tunggunya mencapai 5,5 juta orang sehingga kemudian waktu tunggu keberangkatan haji menjadi meningkat. Lain halnya dengan di Amerika yang mungkin jumlah penduduk Muslimnya tidak sebanyak Indonesia,” papar Ketua Program Studi Doktor Ekonomi Islam FEB UNAIR tersebut. 

Guna menanggulangi hal itu, Prof. Raditya kemudian juga menawarkan beberapa solusi. Hal itu dengan tujuan mengurangi waktu tunggu keberangkatan haji di Indonesia.

“Kita bisa merevisi rumus kuota per negara. Misalnya yang kiranya seimbang dengan jumlah pendaftar haji. Untuk mencapai solusi tersebut ya tentu pemerintah Indonesia harus melobi Arab Saudi sebagai tempat dilaksanakannya haji itu,” jelas Prof. Raditya di Aula Tirtodiningrat FEB UNAIR.

Selain melalui hubungan kedua negara (Indonesia dan Arab Saudi, Red), solusi lainnya yakni dengan memperbaiki fasilitas yang ada di Mekkah harus diperbaiki. Dimana Mekkah, merupakan lokasi penyelenggaraan ibadah haji.

“Pembangunan Masjidil Haram bisa dibuat setinggi Menara Zam-Zam (Zam-Zam Tower, Red), pengadaan transportasi publik seperti kereta api untuk internal Mekkah dan antar kota, serta pemanfaatan lahan kosong di Jeddah atau Mekkah guna akomodasi jamaah. Mengenai dana ya bisa bersumber dari negara lain,” bebernya. 

Sementara itu mengenai biaya haji, dikategorikan menjadi dua yakni reguler dan haji plus. Biaya haji reguler mendapatkan subsidi pemerintah sebesar 30 juta dari yang semula 70 juta. Sehingga calon jamaah haji hanya perlu membayar 40 juta.

Sedangkan untuk haji plus, dikenai biaya sebesar 70 juta. Hal itu dengan waktu tunggu keberangkatan yang lebih singkat dibandingkan reguler.

“Biaya yang tinggi itu solusinya ada dua. Yakni dinaikkan secara berkala dan kuota haji reguler hanya untuk masyarakat tidak mampu,” pungkas Prof. Raditya pada kegiatan bedah buku Rabu (19/01/2022).

Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp