Terapi Berbasis Vitamin D Efektif Menurunkan Dampak Klinis Pasien COVID-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Boston Magazine

Seperti kita ketahui bersama, kasus COVID-19 di dunia semakin hari semakin meningkat, ditambah lagi dengan munculnya varian baru COVID-19 yang penyebarannya semakin cepat. Selain itu dampak klinis yang ditimbulkan oleh virus COVID-19 juga semakin bervariasi, mulai dari peningkatan suhu tubuh, batuk, kesulitan bernafas, diare, hingga dampak yang lebih berat seperti ARDS, sepsis, asidosis metabolik, hingga perdarahan di saluran pernapasan.

Pada sejumlah kasus COVID-19 salah satu terapi medis yang diberikan adalah dengan pemberian suplementasi vitamin D. Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah untuk meningkatkan sistem imunitas dengan meningkatkan produksi peptide  antimikrobia seperti cathelicidin, LL-37, 1,25-dihydroxy vitamin D, dan defensin, serta meningkatkan sekresi hidrogen peroksida pada sel monosit. Akan tetapi belum banyak penelitian yang menunjukkan hubungan yang jelas antara pemberian terapi vitamin D dengan penurunan dampak klinis pada pasien COVID-19.

Berdasarkan hasil literature review yang dilakukan pada 6 jurnal yang melihat hubungan antara pemberian terapi medis berbasis vitamin D terhadap dampak klinis COVID-19, diketahui 5 jurnal menunjukkan hubungan signifikan antara penggunaan terapi berbasis vitamin D dengan penurunan dampak klinis dari COVID-19. Dampak klinis yang diobservasi diantaranya lama tinggal di rumah sakit, lama tinggal di Intensive Care Unit, tingkat kesembuhan, tingkat keparahan, tingkat kematian, dan tanda-tanda inflamasi.

Vitamin D dalam bentuk aktif (1,25(OH)2D3) dapat meningkatkan kemotaksis, respon fagositosis, dan produksi antimikroba seperti cathelicidin dari makrofag sebagai serangkaian respon imun bawaan. Di hati vitamin D yang terikat di lemak diubah menjadi 25-OHD, dan di ginjal diubah menjadi bentuk aktif, yaitu 1,25 (OH)2D3 dengan bantuan enzim hidroksilase yang diekskresikan oleh makrofag. 1,25(OH)2D3 kemudian masuk ke inti sel dengan bantuan reseptor Vitamin D, dalam inti sel, 1,25 (OH)2D3 berperan dalam pembentukan mRNA yang membentuk protein B-defensins dan cathelicidins. Protein cathelicidins meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga lebih banyak makrofag yang dilepaskan untuk membunuh virus. Makrofag kemudian akan melepaskan MHC II yang mengekspresikan antigen dan berikatan dengan sel T. Ikatan antara MHC II, antigen, dan sel T disebut CD 4.

Sel-sel dengan batuan IL-4 akan membentuk sel Th2. Dengan bantuan vitamin D, Sel IL-4, dan IL-5, Th2 diubah menjadi sel B yang kemudian berubah menjadi sel plasma. Sel plasma ini berperan dalam meningkatkan fungsi fagositosis makrofag. Di sisi lain, sel Tho akan membentuk sel Th1 dengan bantuan IL-12. Sel Th1 akan mensekresi IFN yang merangsang pelepasan pro-inflamasi sitokin seperti IL-1, IFN, IL-6, IL-8, dan CXCL. Pembentukan sel Th1 dapat dihambat oleh vitamin D dan IL-10 yang dilepaskan oleh Th2.

Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa defisiensi vitamin D paling sering ditemukan pada pasien COVID-19 dengan gejala parah atau mereka yang dirawat di ICU. Identifikasi Kekurangan vitamin D dapat dilakukan dengan mengukur kadar serum 25-(OH)D. Kadar serum ini adalah  refleksi dari produksi vitamin kulit D3 dan vitamin D (D2 dan D3) dari makanan. Karena waktu paruh 25-(OH)D lebih panjang dari 1,25(OH)2D, maka pengukuran 25-(OH)D lebih direkomendasikan sebagai indikator dari kekurangan vitamin D. Waktu paruh 25-(OH)D adalah 3-4 minggu, sedangkan 1,25(OH)2D hanya 4–6 jam. Selain itu, ketika kekurangan vitamin D terjadi, kadar serum 1,25(OH)2D meningkat karena peningkatan kompensasi hormon paratiroid, dimana hormon tiroid kemudian merangsang ginjal untuk mensekresi 1,25(OH)2D.

Penurunan kadar serum 25-(OH)D berhubungan dengan peningkatan tanda-tanda peradangan, yaitu peningkatan sekresi sitokin sebagai manifestasi tentang keberadaan virus COVID-19. Sitokin yang memiliki peran penting dalam hal ini adalah IL-6. IL-6 diproduksi oleh sel imun (seperti limfosit B, limfosit T, makrofag, sel dendritik, monosit, dan sel mast). Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa COVID-19 pasien dengan kadar serum 25-(OH)D>20 ng/ mL memiliki kadar IL-6 serum yang lebih rendah dibandingkan pasien dengan kadar serum 25-(OH)D<20 ng/m.

Penulis: Dominikus Raditya Atmaka, S.Gz, M.PH.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://www.rjdnmd.org/index.php/RJDNMD/article/view/1031

Mawadatul Khoiroh, Dominikus Raditya Atmaka, Putri Ramadhani Ayuningtyas (2021). Effectiveness of vitamin D-based therapy in reducing clinical impact of Covid-19 patients: A systematic review. Romanian Journal of Diabetes, Nutrition, and Metabolic Diseases. 28(3): 331-336.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp