Dinamika Kemiskinan di Indonesia: Bukti Empiris dari Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Inside Indonesia

Tantangan baru telah muncul bagi Indonesia menyusul kisah suksesnya dalam mengurangi tingkat kemiskinan selama beberapa dekade terakhir. Meskipun angka tersebut turun dari 24% pada tahun 1999 menjadi 9,8% pada tahun 2020, laju penurunan rata-rata turun dari 1,9% antara tahun 1970-an dan 1990-an menjadi hanya 0,5% antara tahun 2002 dan 2017. Tren ini juga dapat diperburuk oleh meningkatnya ketimpangan pendapatan, yang koefisien Gini-nya naik dari 0,30 pada 1999 menjadi 0,39 pada Maret 2020 (Badan Pusat Statistik, 2020). Selain itu, kerentanan Indonesia terhadap tingkat kemiskinan relatif tinggi, dengan 30% penduduknya miskin atau rentan terhadap kemiskinan (Bank Dunia, 2020). Misalnya, ketika krisis keuangan Asia melanda perekonomian Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di bawah $3,2 per hari (garis kemiskinan Bank Dunia untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah) meningkat dari 79,8% pada tahun 1996 menjadi 90,2% pada tahun 1998. pulih dari krisis, banyak orang miskin Indonesia keluar dari kemiskinan.

Ilustrasi gerakan kemiskinan di atas menunjukkan bahwa banyak orang dapat dengan cepat jatuh dan keluar dari kemiskinan. Karena kemiskinan adalah fenomena yang dinamis, setiap rumah tangga tidak miskin dapat jatuh ke dalam kemiskinan dari satu periode ke periode berikutnya karena kejutan negatif seperti penyakit, krisis ekonomi, atau gagal panen. Demikian pula, rumah tangga miskin dapat keluar dari kemiskinan setelah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan promosi, atau mendapat manfaat dari perbaikan infrastruktur. Dengan pemikiran ini, Sen (1981) mengkonseptualisasikan dua dinamika kemiskinan: kemiskinan kronis dan sementara. Yang pertama adalah kemiskinan jangka panjang, menandakan bahwa rumah tangga terjebak di bawah garis kemiskinan untuk jangka waktu yang relatif lama. Yang terakhir adalah kemiskinan transitori atau sementara, yang berarti bahwa rumah tangga dapat keluar masuk kemiskinan.

Meskipun jumlah studi tentang dinamika kemiskinan di Indonesia terus bertambah, temuannya tetap tidak meyakinkan. Studi menggunakan data panel rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia (Susenas) 2008 dan 2010 serta indeks FGT menunjukkan bahwa spell approach cenderung meremehkan kemiskinan kronis (rumah tangga tetap miskin dalam dua periode pengamatan berturut-turut). Diperkirakan bahwa 6,7% dari total rumah tangga mengalami kemiskinan kronis. Sedangkan kesimpulan dinamika kemiskinan dengan pendekatan komponen sensitif terhadap pilihan parameter kemiskinan indeks FGT. Dengan menggunakan parameter kemiskinan =0, sekitar 11,07% dari total rumah tangga tergolong miskin kronis (pengeluaran rata-rata di bawah garis kemiskinan). Namun, penerapan kesenjangan kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan menunjukkan bahwa komponen kronis masing-masing mencapai 63,16% dan 54,15% dari total kemiskinan. Demikian pula, pendekatan kesenjangan kemiskinan equally distributed equivalent(EDE) juga menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia sebagian besar bersifat kronis sebesar 92% dari total komponen kemiskinan. Tingginya persentase kemiskinan kronis disumbang oleh biaya ketimpangan yang signifikan.

Penulis: Dr. Rudi Purwono, S.E., M.SE.

Link Jurnal: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S245229292100062X

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp