Menjalani Karantina di Tempat Fasilitas Karantina Menyebabkan Gangguan Kesehatan Mental, Mitos atau Fakta?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Yale University

Sudah hampir 2 tahun sejak kita menjalani hidup di dunia ini dalam kondisi pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV2. Kejadian ini membuat banyak perubahan dalam hidup, mulai dari banyaknya sahabat atau keluarga yang meninggal karena penyakit ini, carut marutnya kondisi ekonomi, perubahan pola kerja, perubahan pola asuh dan pola didik anak, dan juga perubahan dalam berinteraksi sosial. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus beradaptasi dengan kondisi baru ini. Tidak lupa juga hampir semua orang pernah merasakan nasopharyngeal swab test, yang mana masih menjadi tes paling akurat dalam mendeteksi apakah orang tersebut terinfeksi atau membawa virus SARS-CoV2 hingga saat ini.

Hal lain yang dirasakan oleh banyak orang di masa pandemi ini adalah bagaimana rasanya menjalani karantina ketika terdeteksi virus SARS-CoV2 namun tidak ada gejala atau bergejala ringan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menekan penularan virus ini. Namun begitu, menjalani karantina selama 10-14 hari penuh bukanlah hal yang mudah. Kendala yang dihadapi, terutama ketika menjalani karantina di rumah, adalah harus memastikan untuk tidak berinteraksi dengan penghuni rumah lainnya, kesulitan memenuhi kebutuhan mkanan karena tidak bisa keluar rumah untuk membeli makanan, dan juga rasa bosan karena tidak bisa bertemu dengan orang lain secara langsung.

Oleh karena banyaknya kendala ketika menjalani karantina di rumah, pemerintah berinisiatif untuk menyediakan tempat fasilitas karantina di berbagai tempat di Indonesia, sebagai contohnya wisma Atlet di daerah Jakarta, dan Rumah Sakit Lapangan Indrapura di Surabaya. Dengan adanya fasilitas karantina, diharapkan masyarakat menjadi lebih nyaman dalam menjalani masa karantinanya. Namun begitu, terdapat beberapa laporan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang menjalani karantina di tempat karantina. Banyak yang kemudian berasumsi bahwa menjalani karantina di tempat karantina menyebabkan orang jadi mengalami gangguan kesehatan mental. Namun begitu, belum ada studi yang pernah dilakukan secara sistematis untuk membuktikan hal tersebut. Oleh karena itu, kami melakukan penelitian singkat untuk membuktikan apakah kondisi kesehatan mental masyarakat memburuk setelah menjalani karantina di tempat fasilitas karantina.

Penelitian ini kami lakukan di Rumah Sakit Lapangan Indrapura di Surabaya pada tanggal 1 – 14 November 2020. Semua masyarakat dewasa yang masuk pada tanggal tersebut diminta untuk mengisi kuisioner untuk menilai status depresi, kecemasan, dan stress sebelum mereka menjalani karantina. Setelah karantina selesai, mereka diminta untuk mengisi ulang kuisioner tersebut. Selama periode penelitian tersebut, kami mendapatkan 206 responden yang mengisi kuisioner sebelum dan sesudah menjalani masa karantina. Sebelum karantina, 4% dari responden mengalami depresi, 15% mengalami kecemasan, dan 8% mengalami stress. Setelah karantina, 5% dari responden mengalami depresi, 10% mengalami kecemasan, dan 8% mengalami stress. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara angka kejadian depresi, kecemasan, dan stress sebelum dan sesudah karantina.

Berdasarkan hasil penelitian kami, dapat disimpulkan bahwa karantina menyebabkan gangguan kesehatan mental hingga depresi merupakan sebuah mitos. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, membuat masyarakat menjadi tidak takut untuk menjalani karantina di tempat yang sudah disediakan oleh pemerintah.

Penulis: dr. Sovia Salamah dan dr. Firas Farisi Alkaff

Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada publikasi ilmiah kami di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34819203/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp