Kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae pada saraf tepi, yang kemudian menyebar ke kulit dan jaringan lain. M. leprae berpotensi menginfeksi sel Schwann di sistem saraf tepi dan menyebabkan gangguan fungsi saraf sensorik, motorik, dan otonom. Malfungsi dari sistem saraf tepi dan neuritis selama reaksi kusta menyebabkan kecacatan penderita kusta. Tingkat kecacatan penderita kusta diklasifikasikan sebagai derajat 0 (gangguan sensibilitas tidak ditemukan, dan kecacatan kaki, tangan, dan mata tidak terlihat) atau derajat 1 (gangguan sensibilitas muncul tanpa kecacatan kaki dan tangan atau gangguan penglihatan berat). Menurut Weekly Epidemiological Report tentang kusta, Indonesia menduduki peringkat ketiga, dengan 21.026 kasus pada tahun 2009. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menghindari kecacatan pada penderita kusta, antara lain deteksi dini infeksi sebelum terjadi kecacatan, dukungan medis, penilaian fungsi saraf secara berkala, rehabilitasi, sosialisasi, dan perawatan diri. Identifikasi awal kecacatan telah menjadi kendala untuk menemukan diagnosis kecacatan yang tepat. Kerusakan sel saraf pada kusta merupakan akibat dari demielinasi sel saraf tepi. Hal ini terjadi
karena infeksi M. leprae, dengan sel Schwann sebagai target utama. Demielinasi sel Schwann dipicu melalui aktivasi rute c-Jun. Akibatnya, ini menonaktifkan Krox-20, sebuah gen reguler mielinisasi. Ketika sel Schwann mengalami kerusakan, sebagai mekanisme pertahanan otonom, mereka memperbaiki kondisi melalui remielinasi. Proses ini dipengaruhi oleh NRG1 dan NGF sebagai faktor neurotropik, serta adanya protein mielin perifer 22 (PMP22) dan protein 0 (P0) karena merupakan dasar komponen mielin spesifik pada saraf tepi.
Salah satu strategi untuk deteksi dini kerusakan saraf tepi akibat infeksi M. leprae adalah dengan mengenali perilaku sel Schwann melalui perubahan penanda sintesis selubung mielin. Marker tersebut antara lain NGF, NRG1, Krox-20, P0, dan PMP22. Oleh karena itu, penelitian ini memanfaatkan NGF sebagai alat diagnostik untuk deteksi dini kecacatan pada pasien kusta dan menentukan nilai batasnya.
Sampel penelitian terdiri dari 79 penderita kusta tipe multibasiler (MB) dengan kecacatan derajat 0 (n=36) dan 1 (n=43) yang secara klinis memenuhi kriteria inklusi. Usia pasien berkisar antara 14 hingga 50 tahun. Sampel penelitian ini diamati selama lima bulan di Rumah Sakit Kusta Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Untuk kedua kelompok sampel, serum darah dikumpulkan untuk menentukan konsentrasi NGF. Kadar NGF dianalisis dengan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) sesuai dengan panduan manual dari kit insert dari Cussabio®. Analisis statistik menggunakan software SPSS 17 untuk Windows. Perbandingan dilakukan dengan uji-t test berpasangan dan titik batas konsentrasi NGF ditentukan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC).
Konsentrasi serum NGF secara signifikan lebih tinggi pada kecacatan derajat 0 dibandingkan dengan kecacatan derajad 1 (100,46 ± 48,28 pg/mL vs 30,56 ± 18,95 pg/mL; p <0,05). Hasil uji t-test berpasangan menunjukkan nilai F = 22,098 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan kadar NGF dalam plasma darah antara penderita kusta MB dengan kecacatan derajat 0 dan kecacatan derajat 1. Berdasarkan kurva ROC, nilai batas optimal dari konsentrasi serum NGF sebagai indikator awal kecacatan pada kusta adalah 81,43 ng/L, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 100% [AUC 0,719; 95% CI (0,719-0,918); p < 0,05]. Tingkat kecacatan yang lebih tinggi menunjukkan konsentrasi NGF yang lebih rendah dalam serum darah. Hasil ini menunjukkan bahwa NGF yang rendah pada lesi saraf dan kulit penderita kusta berkontribusi terhadap kerusakan awal saraf perifer akibat infeksi Mycobacterium leprae.
Penelitian ini menunjukkan bahwa NGF dapat digunakan sebagai penanda deteksi dini kecacatan pada kusta, dengan nilai batas 81,43 pg/mL. Jika konsentrasi NGF lebih dari 81,43 pg/mL, berarti proses regenerasi saraf masih memungkinkan. Namun, jika NGF di bawah 81,43 pg/mL, berarti sudah terjadi kerusakan saraf tepi.
Dengan mengenali nilai batasnya, NGF dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk deteksi dini kerusakan saraf. Saraf merupakan faktor pertumbuhan penting untuk mengembangkan dan mempertahankan sel fenotipe di sistem saraf tepi dan menjaga integritas saraf kolinergik di sistem saraf pusat. NGF memiliki peran penting selama proses mielinisasi di saraf perifer. NGF terungkap sebagai neurotropin yang diperlukan untuk sintesis mielin, terutama pada struktur saraf perifer. NGF juga dapat mengatur proses mielinisasi dengan efek yang berlawanan antara sel Schwann dan oligodendrosit melalui sinyal aksonal.
Penulis: Dr. Agus Turchan, dr. Sp.BS
Link Jurnal: https://www.panafrican-med-journal.com/content/article/37/145/full/