Insiden bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) menjadi permasalahan bagi masyarakat seluruh dunia. BBLR merupakan kondisi bayi yang terlahir dengan berat badan kurang dari 2,500 gram. Bayi dengan BBLR cenderung mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan seperti lambatnya perkembangan kognitif, kelemahan saraf, serta berisiko pada kematian bayi. Faktor usia ibu saat melahirkan, jumlah kunjungan selama kehamilan (ANC), status merokok ibu, tingkat pendidikan, urutan kelahiran bayi, daerah tempat tinggal, serta status ekonomi menjadi faktor penentu terjadinya kasus BBLR.
Kasus BBLR di dunia mencapai lebih dari 20 juta (15.5%) kelahiran hidup per tahun dan 96.5% terjadi di negara berkembang. Kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik menduduki peringkat ketiga kelahiran hidup dengan BBLR. Kasus BBLR di Indonesia menduduki peringkat ke-10 se kawasan Asia-Pasifik pada tahun 2011. Sebanyak 18% bayi dengan BBLR berada di kawasan Asia. Indonesia mengalami fluktuasi angka bayi dengan BBLR pada tahun 2002 hingga 2017. Pada tahun 2002, presentase bayi dengan BBLR mencapai 7.6% dan menurun pada tahun 2007 (6.7%) Namun, angka bayi dengan BBLR meningkat kembali pada tahun 2012 mencapai presentase 7.3%. Kasus tersebut kembali meningkat pada tahun 2013 yang menunjukkan presentase 10.2% kelahiran bayi hidup. Namun, jumlah bayi dengan BBLR menurun pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing 6.9% dan 7.1%.
Beberapa penyakit kronis yang diasosiasikan dengan riwayat BBLR antara lain penyakit kardiovaskuler, diabetes, gangguan sistem pernapasan dan gangguan sistem saraf pusat. Selain itu, Bayi dengan BBLR yang berhasil hidup mengalami perkembangan yang kurang baik. Banyaknya penelitian belum mampu memberikan strategi pencegahan terhadap peningkatan prevalensi bayi BBLR.
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional (potong lintang)dengan menggunakan data sekunder dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017. SDKI 2017 mengumpulkan dan melaporkan informasi terkait demografi serta kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Penelitian ini melibatkan 34 provinsi di Indonesia. Sebanyak 49,627 wanita berhasil diwawancarai dalam survey 2017 dengan tingkat keaktifan responden sebesar 97.8%. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner Wanita Usia Subur (WUS) milik SDKI 2017 yang ditanyakan kepada semua responden wanita usia 15-49 tahun yang memiliki bayi. Penelitian ini menggunakan birth recode (BR) dataset yang menyediakan semua informasi tentang kelahiran.
Sebanyak 14,239 responden yang terlibat dalam penelitian ini. Frekuensi BBLR di Indonesia tahun 2017 adalah 6.74% atau sebanyak 960 bayi dengan BBLR. Sebagian besar ibu yang melahirkan dalam penelitian ini berada pada rentang usia 20-34 tahun, yakni 73.35% dan 92.9% responden telah melakukan kunjungan ANC >4 kali. Sebagian besar responden tidak merokok yakni sebesar 98.5%. Responden terbanyak dalam penelitian ini dimiliki oleh ibu dengan tingkat pendidikan tamat SLTA (30.7%). Sebagian besar responden berada pada kuintil kekayaan menengah atas (21.3%).
Berdasarkan hasil analisis multivariat, terdapat 2 faktor yang memiliki berkaitan dengan kejadian BBLR di Indonesia. Variabel tersebut antara lain jumlah kunjungan ANC dan tingkat pendidikan. Berdasarkan jumlah kunjungan ANC, ibu yang telah melakukan kunjungan ANC <4 kali memiliki kecenderungan 1.86x untuk melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang telah melakukan kunjungan ANC ≥4 kali selama kehamilan. Berdasarkan tingkat pendidikan, ibu yang tidak sekolah memiliki kecenderungan2.09x memiliki bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan standar pelayanan ANC yang ditetapkan oleh Kemenkes RI tahun 2014 yang menetapkan kunjungan ANC minimal adalah 4 kali. Standar pelayanan ANC yang mendukung program BBLR meliputi penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran lingkar lengan atas (LILA), pengukuran tinggi fundus uteri, pengukuran presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ), pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan tes laboratorium, dan pelaksanaan konseling kesehatan.
Pendidikan juga berkontribusi dalam pencegahan BBLR. Pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan sikap ibu dalam pengambilan keputusan apabila terjadi masalah dalam kehamilan maupun persalinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka pengetahuan dan pengambilan keputusan yang dimiliki semakin baik. Hal tersebut membuat ibu lebih mampu dalam memilih jenis pelayanan kesehatan serta perawatan kehamilan yang baik sehingga dapat mendeteksi gangguan kehamilan sedini mungkin.
Penulis: Rista Fauziningtyas, S.Kep.Ns., M.Kep.
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://www.pediatricnursing.org/article/S0882-5963(21)00302-X/fulltext