Pentinya Apoteker di Puskesmas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Farmasi Asia

Posisi apoteker di fasilitas pelayanan kesehatan seperti di puskesmas sangat penting, karena masyarakat harus mendapatkan obat yang berkualitas, aman dan berhasasiat. Apoteker di Puskesmas harus memastikan bahwa obat-obatan diatur secara efisien dan tersedia dengan jumlah yang cukup sebelum berfokus pada penyediaan layanan farmasi klinik. Selama bertahun-tahun dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa apoteker menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk melakukan penyiapan logistik farmasi. Manajemen pengadaan, penyimpanan, dan distribusi sediaan farmasi sangat penting bagi fasilitas pelayanan kesehatan dan perusahaan farmasi. Fasilitas pelayanan kesehatan dapat melakukan perencanaan obat sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar fasilitas kesehatan tersebut. Kesesuaian pengelolaan sediaan farmasi dengan kebutuhan akan tercapai secara baik jika dikelola oleh tenaga yang kompeten. Ketersediaan obat di puskesmas sangat penting karena puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan terdepan.

Perencanaan sebagai langkah awal dari rangkaian pengelolaan obat di Puskesmas akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan kesesuaian obat dengan kebutuhan. Biasanya perencanaan yang kurang mendekati kebutuhan riil sebagai faktor utama terjadinya stok kosong atau stok berlebih di Puskesmas. Oleh karena itu dibutuhkan perencanaan yang cermat oleh semua penanggungjawab kefarmasian di Puskesmas. Stok obat yang tidak sesuai di Puskesmas memiliki resiko ketidakrasionalan pengobatan, dan juga akan meningkatkan biaya, serta berpotensi banyaknya obat rusak atau kadaluarsa.

Ketersediaan obat di puskesmas, tergantung pada kompetensi dari pengelola obat tersebut. Sesuai dengan regulasi, yang memiliki keahlian dan kewenangan terkait pekerjaan kefarmasian adalah apoteker. Apalagi saat ini sudah ada perluasan cakupan praktik kefarmasian yang awalnya hanya fokus pada pengelolaan obat saja sekarang juga harus melakukan pharmaceutical care untuk menjamin keberhasilan terapi pada pasien. Yang dimaksud dengan pengelolaan obat, bukan sekedar bagaimana obat diproduksi, didistribusikan, akan tetapi juga mencakup, dari mana pasien memperoleh obat, bagaimana menggunakannya, dari siapa mereka mendapatkan informasi tentang penggunaan obat dan bagaimana mereka menyimpannya di rumah. Jadi seharusnya yang menjalankan praktik kefarmasian atau yang menjandi penganggungjawab pengelola obat di Puskesmas adalah Apoteker.

Masyarakat senantiasa akan mencari fasilitas pelayanan kesehatan yang lengkap dan berkualitas dan lengkap sarana dan prasarana, serta maupun sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu Puskesmas yang memiliki fasilitas lebih baik akan lebih banyak dikunjungi oleh masyarakat. Obat merupakan bagian terpenting dari sarana yang harsus disiapkan di Puskesmas, mengingat  obat merupakan bagian mata rantai antara pasien dan pelayanan kesehatan, dan obat dapat mendorong kepercayaan masyarakat terhadap fasilitas peleyanan kesehatan tersebut.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kesesuaian antara ketersediaan dan kebutuhan obat pada Puskesmas dengan pengelolaan yang dilakukan oleh apoteker lebih baik dari pada yang dikelola oleh selain apoteker, yaitu mencapai 90% untuk ketersediaan obat yang dikelola oleh apoteker dan 70% untuk yang dikelola oleh selain apoteker. Keberadaan stok obat berlebih pada puskesmas yang dikelola oleh non Apoteker prosentasenya lebih besar jika dibandingkan dengan obat yang dikelola oleh apoteker yaitu 10 – 40 % untuk non apoteker, dan 10 – 20% untuk obat yang dikelola oleh apoteker. Sejalan dengan itu jumlah obat kedaluarsa dan obat rusak juga lebih besar antara 5 – 18% untuk obat kadaluarsa dan 2 – 16% untuk obat rusak. Sementara untuk obat yang dikelola oleh apoteker baik obat rusak maupun obat kadaluarsa  masing-masing maksimal sebesar 2%. Berkaitan dengan banyaknya stok obat berlebih, maka mengakibatkan banyaknya stok obat mati. Pada penelitian ini stok obat mati untuk puskesmas yang dikelola oleh apoteker lebih sedikit yaitu 2  – 7 %, sedangkan obat yang dikelola non apoteker berkisar antara 2 – 15%.

Hal ini merupakan keniscayaan mengingat tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan terkait praktik kefarmasian adalah Apoteker. Pendidikan mereka dicurahkan hampir sepenuhnya untuk memahami obat dengan segala aspeknya. Tata kelola obat yang baik, seperti pemilihan obat esensial yang cermat, jaminan kualitas yang baik, manajemen pengadaan dan pasokan yang berkesinambungan, serta penggunaan obat yang rasional semuanya berfungsi untuk mengoptimalkan penggunaan dana pemerintah yang terbatas, dan mengoptimalkan menyediakan layanan dasar bagi semua masyarakat. Oleh karena itu pentingnya penyiapan penglola obat di Puskesmas yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku yaitu Apoteker.

Penulis: Penulis: Abdul Rahem*, Umi Athiyah, Catur Dian Setiawan, Andi Hermansyah

Judul artikel: The impact of pharmacist shortage on the inventory management of medicines at primary healthcare centres in East Java, Indonesia  Link artikel: https://pharmacyeducation.fip.org/pharmacyeducation/article/view/1394https://www.researchgate.net/profile/Andi-Hermansyah/publication/353542317_The_impact_of_pharmacist_shortage_on_the_inventory_management_of_medicines_at_primary_healthcare_centres_in_East_Java_Indonesia/links/6124b7fda8348b1a46ff7bd7/The-impact-of-pharmacist-shortage-on-the-inventory-management-of-medicines-at-primary-healthcare-centres-in-East-Java-Indonesia.pdf

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp