Meninjau Kembali Remunerasi Bagi Apoteker

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by BioFar ID

Apoteker menempati posisi yang strategis dalam pelayanan kefarmasian di tanah air. Apoteker kerapkali menjadi tujuan pertama masyarakat ketika membutuhkan obat untuk mengatasi problem kesehatan yang dikeluhkan masyarakat. Sebanyak 85% masyarakat pernah mengunjungi apotek untuk keperluan swamedikasi (pengobatan sendiri). Apoteker juga menempati posisi penting dalam mengidentifikasi keluhan pasien sehingga dapat mengambil tindakan untuk merujuk pasien ke layanan perawatan kesehatan terdekat. Terlebih lagi, apoteker merupakan tenaga kesehatan terakhir yang ditemui masyarakat dalam pelayanan obat dan perbekalan kesehatan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari posisi apoteker sebagai penyedia layanan kefarmasian untuk obat dengan resep yang biasanya merupakan tahap terakhir dalam siklus pelayanan kesehatan.

Posisi dan peran apoteker yang strategis tersebut menuntut penyediaan layanan yang profesional dan bertanggungjawab. Ditambah lagi dengan semakin beragamnya pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker, termasuk dalam manajemen pengobatan, promosi kesehatan dan pencegahan penyakit (preventive diseases), menempatkan apoteker dalam posisi yang penting dalam praktek kefarmasian. Posisi dan fungsi strategis tersebut tentunya harus didukung dengan keberadaan remunerasi dan jasa profesi bagi apoteker. Remunerasi merupakan aspek yang esensial untuk menjaga pelayanan berkualitas yang berkesinambungan. Namun sayangnya, belum ada kajian yang secara khusus menyoroti sistem remunerasi bagi apoteker di Indonesia.

Peneliti dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang dipimpin oleh apt. Andi Hermansyah kemudian mengadakan penelitian untuk mengidentifikasi sistem remunerasi bagi apoteker di sektor farmasi komunitas di Indonesia. Peneliti berhasil mengumpulkan data dari hampir 2,000 orang responden apoteker di seluruh Indonesia. Dari penelitian tersebut diketahui karakteristik dan besaran remunerasi yang diterima oleh apoteker serta preferensi responden terhadap bentuk remunerasi yang dapat menunjang perbaikan pelayanan kefarmasian.

Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem remunerasi apoteker di Indonesia belum mendukung pemberian professional fee bagi apoteker. Sebagian besar remunerasi apoteker masih berkutat pada sistem pemberian pendapatan bulanan ditambah dengan insentif lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan kinerja profesional apoteker. Mayoritas responden mengatakan sistem remunerasi berbasis fee for service dapat menjadi alternatif untuk kompensasi profesional apoteker.

Pada akhir pembahasan, peneliti menitikberatkan bahwa praktek profesional apoteker perlu ditunjang dengan sistem remunerasi yang menghargai kinerja profesional apoteker. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya suatu model remunerasi yang mempertimbangkan tanggungjawab, risiko dan kualifikasi apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian.

Penulis: Andi Hermansyah

Penelitian ini dapat diakses langsung di:

https://pharmacyeducation.fip.org/pharmacyeducation/article/view/1399

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp