Hukum Paten: Memfasilitasi Transfer Teknologi?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Jogloabang

Indonesia memiliki undang-undang paten selama lebih dari tiga dekade dan telah melakukan penyesuaian terhadap Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs) terkait Perdagangan dengan beberapa kali merevisi undang-undang paten tersebut.  Tujuannya adalah untuk mendorong inovasi dan alih teknologi seperti yang dijanjikan dalam Perjanjian TRIPs, namun kapasitas teknologi dan alih teknologi masih rendah. Sehingga perlu dianalisa, apakah penerapan hukum paten internasional di Indonesia memfasilitasi inovasi dan alih teknologi untuk meningkatkan kapasitas teknologi.

Tujuan hukum paten internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 7 TRIPs adalah untuk mendorong inovasi, diseminasi teknologi, dan alih teknologi serta untuk mengakui keseimbangan antara kepentingan publik dan swasta untuk kesejahteraan rakyat. Tujuan tersebut dianggap sebagai tawar-menawar bagi negara-negara berkembang untuk menerima standar hak kekayaan intelektual (HAKI) yang diatur dalam Perjanjian TRIPs, khususnya hukum paten, dan untuk menerapkan sistem penegakan yang kuat di tingkat nasional. Perjanjian TRIPs dalam Pasal 66.2 jelas mewajibkan negara maju untuk memberikan insentif kepada badan hukum atau lembaga di bawah yurisdiksi nasionalnya untuk mendukung inovasi dan alih teknologi sehingga negara kurang berkembang memiliki kapasitas teknologi.

Kedua Pasal 7 dan 66.2 sangat penting untuk membangun hubungan antara perlindungan HKI dan transfer teknologi dan menjadi kekuatan pendorong bagi negara-negara berkembang untuk menerapkan standar TRIPs dan menetapkan hukum nasional tentang HKI, termasuk paten. Atas dasar itu, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian TRIPs pada tahun 1994 dan beberapa kali merevisi Undang-Undang Patennya untuk menyesuaikan dengan standar TRIPs sehingga negara ini mampu meningkatkan transfer teknologi dan inovasi. Selanjutnya, Undang-Undang Paten Indonesia tahun 2016 (UU Paten Indonesia) yang baru telah diterbitkan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi baru dan untuk mendorong inovasi bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diatur dalam Pembukaan.

Sejak tahun 1970-an dan awal 1980-an, HKI dan alih teknologi telah menjadi perhatian dalam beberapa lokakarya dan seminar yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Indonesia (Badan Pembinaan Hukum Nasional), meskipun pada saat itu belum ada definisi yang jelas tentang alih teknologi. Artinya Indonesia membutuhkan alih teknologi internasional untuk meningkatkan indeks daya saing nasional dan membangun industri nasional yang mandiri dan tangguh untuk pembangunan nasional. Inovasi teknologi sangat penting, namun akses, adopsi, dan transfer teknologi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Untuk itu, Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk mendorong alih teknologi, antara lain revisi undang-undang HKI, Peraturan Alih Teknologi, Undang-Undang Sistem Nasional Penelitian dan Pengembangan, Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral (BFTA), dan lain-lain.

Namun, alih teknologi masih menjadi salah satu isu yang paling penting, terutama jika dikaitkan dengan perlindungan HKI. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Perjanjian TRIPs 25 tahun yang lalu, statistik dari Direktorat Jenderal Hak Milik Indonesia menunjukkan bahwa antara 2017 dan 2018, jumlah permohonan paten nasional menurun drastis dari 2,842 hingga 1,720. Jumlah tersebut relatif rendah dibandingkan dengan jumlah permohonan yang diisi oleh orang asing atau entitas asing.

Demikian pula pada tahun 2019, indeks inovasi nasional Indonesia menduduki peringkat 85 dari 129 negara di dunia. Di kawasan ASEAN, inovasi Indonesia menempati peringkat kedua terendah setelah Kamboja, sedangkan Singapura menempati peringkat pertama disusul Malaysia. Sejak 2011 hingga 2018, nilai rata-rata inovasi Indonesia adalah 29,8 poin dan sangat rendah dibandingkan dengan sebagian besar negara berkembang.

Tidak mudah untuk melihat bahwa penerapan hukum paten internasional mendorong inovasi dan alih teknologi di Indonesia karena beberapa alasan:

Pertama, Undang-Undang Paten Indonesia tidak dirancang secara komprehensif untuk mendorong inovasi dan alih teknologi. UU Paten tidak sepenuhnya menggunakan fleksibilitas yang disediakan oleh Perjanjian TRIPs untuk meningkatkan kapasitas teknologi khususnya di bidang-bidang yang memiliki dampak penting pada inovasi dan transfer teknologi, yaitu lisensi termasuk lisensi wajib, persyaratan pengungkapan penuh, dan pengecualian penelitian dan pendidikan yang luas.

Oleh karena itu, tidak mudah bagi peneliti nasional untuk meniru secara akurat penemuan-penemuan teknologi yang dipatenkan yang diisi oleh orang asing dan entitas asing di Indonesia serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi baru untuk pembangunan nasional. Oleh karena itu, diperlukan amandemen UU Paten.

Kedua, jika undang-undang paten sudah dirancang sedemikian rupa untuk mendukung alih teknologi, maka tidak akan cukup untuk mengatasi baik masalah alih teknologi maupun kekurangan kapasitas inovasi nasional. Kecuali ada kebijakan dan regulasi yang memadai dan konsisten tentang alih teknologi dan komitmen yang kuat untuk membangun dan meningkatkan kompetensi inovasi nasional.

Peraturan Pemerintah tentang Alih Teknologi mungkin tidak membantu Indonesia untuk mendapatkan akses teknologi yang dibutuhkan untuk pembangunan negara. Hal ini karena peraturan ini tidak berfokus pada pentingnya lisensi teknologi asing bagi perusahaan nasional dan lembaga nasional lainnya. Tetapi hanya memberikan kesempatan bagi perusahaan asing untuk memproduksi secara lokal untuk menyediakan lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal, tetapi tidak membahas masalah transfer teknologi yang sebenarnya. Peraturan ini perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek yang baru, sehingga semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan alih teknologi saling mendukung dan sejalan.

Terakhir, kebijakan sistem nasional di bidang Litbang memiliki pengaruh yang signifikan dalam mendorong dan menghambat inovasi dan alih teknologi. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan undang-undang baru dalam konteks ini dan undang-undang ini menunjukkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk meningkatkan R&D dan mendukung inovasi dan penemuan. Komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk insentif bagi perguruan tinggi yang banyak menghasilkan invensi dan inovasi, pembentukan dana abadi untuk litbang, dan pengurangan pajak bagi badan usaha sebagai insentif untuk menghasilkan invensi, inovasi, penguasaan teknologi baru, dan alih teknologi. untuk meningkatkan daya saing industri.

Namun, undang-undang baru ini berfokus pada bagaimana meningkatkan R&D, inovasi, dan penemuan nasional, tetapi kurang memperhatikan untuk memfasilitasi transfer teknologi internasional. Tampaknya transfer teknologi internasional belum menjadi prioritas utama bagi Indonesia. Tanpa kelengkapan dan konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait alih teknologi, alih teknologi tidak akan terjadi secara otomatis.

Penulis: Nurul Barizah

Link Jurnal: https://journal.unisza.edu.my/jonus/index.php/jonus/article/view/640/308

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp