Pengobatan Tuberkulosis yang tepat dan berhasil dengan pasien mencapai kesembuhan maksimal, harus dimulai dengan dasar penegakan diagnosis Tuberkulosis yang tepat pula.
Sampai saat ini, penyakit infeksi saluran pernafasan Tuberkulosis paru (TBC) merupakan penyebab utama kematian diantara sederetan penyakit infeksi di dunia. Penyakit infeksi ini dapat disembuhkan apabila ditangani secara tepat, ditegakkan diagnosis dengan tepat segera dan sedini mungkin, diikuti segera pemberian pengobatan yang tepat pula disertai pengawasan ketat dan perawatan rehabilitasi yang benar. Namun di Negara endemik TBC, termasuk di Indonesia, TBC masih menjadi masalah Kesehatan karena masih tingginya insidens, dan dilaporkan rerata penduduk terinfeksi TBC sebesar 9 juta penduduk per tahun, dan lebih dari 1 juta kematian penduduk setiap tahunnya. Temuan metode diagnostik yang tepat dan cepat dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan, dan mencegah penyebaran TBC dan keberhasilan Program pemberantasan TBC.
Sampai saat ini berkembang teknologi dengan berbagai metode molekuler untuk penegakan diagnosis TBC juga TBC resisten banyak obat (Multidrug Resistant TB/ MDR-TB). Metode molekuler mendeteksi atau menemukan molekul gen (rangkaian asam nukleat DNA)yang spesifik pada bakteri penyebab TBC (Mycobacterium tuberculosis), apabila molekul gen ini ditemukan dalam sampel dahak yang diambil dari pasien yang terduga sakit TBC paru maka dapat ditegakkan pasien sakit TBC paru. Pasien terduga sakit TBC paru bergejala batuk kronis lama dan berdahak kental keruh, serta pada pemeriksaan oleh Dokter ditemukan gejala TBC paru dan pada foto rongen dada ditemukan tanda radang spesifik pada organ paru.
Pada masa kini, permasalahan pengobatan TBC bertambah, terutama di lingkungan penduduk Negara yang endemik TBC, sudah banyak laporan kasus TBC paru dengan infeksi yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis mikroba selain bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TBC paru sudah merupakan penyakit kronis, terjadi kerusakan jaringan organ paru yang berlangsung lama, kondisi imunitas jaringan paru melemah sehingga memudahkan terjadi ko-infeksi atau tambahan terinfeksi mikroba lainnya. Apabila proses penyakit berlanjut dengan terjadinya infeksi campuran mikroba ini dapat meningkatkan kronisitas dan berakibat kesulitan pengobatan, mikroba terus berkembang biak, sakit bertambah berat dan memudahkan penularan, disertai peningkatan insiden TBC (incidence rate) di masyarakat.
Keseimbangan mikrobioma terganggu pada proses penyakit infeksi TBC paru, kondisi ini berakibat perubahan diversitas mikrobioma dalam jaringan paru. Mikrobioma yang dominan adalah mikrobioma yang menang dalam kompetisi hidup dalam komunitas mikrobioma dalam jaringan paru. Kerusakan pada keseimbangan komunitas mikrobioma dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti antibiotik atau infeksi-infeksi berulang kronis. Perubahan diversitas mikrobioma disebabkan terutama oleh resistensi obat anti-TBC, seperti pada pasien kebal multi obat MDR-TB.
Dahak dari pasien TBC paru merupakan sumber penemuan mikrobioma yang dapat sebagai biomarker potensial pada kronisitas penyakit dan pada kasus pasien kebal obat.
Teknologi metode Next Generation Sequencing berdasar temuan gen 16SrRNA dapat menganalisis komposisi, diversitas, dan besaran atau kelimpahan mikrobioma secara tepat. Berdasar metode ini penting untuk eksplorasi mikrobioma dalam dahak pasien TBC paru resisten obat anti-TBC. Hal ini membuka wawasan alur baru pada diagnosis pasien TBC, terutama kasus kebal obat anti-TBC.
Penelitian ini melakukan analisis mikrobioma dalam dahak pasien TBC paru yang sudah kebal obat Rifampisin (RR) atau kebal multi obat (MDR-TB), untuk menyatakan potensi biomarker kronisitas penyakit.
Metode Penelitian
Sampel dahak dari pasien TBC paru kebal obat Rifampisin atau pasien kebal multi obat (MDR-TB), pasien Poli MDR-TB di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Dahak dilakukan proses ekstraksi DNA, diukur konsentrasi DNA minimal 50 ng/ml, kemudian dilakukan proses amplifikasi DNA regio V3‑V4 gen16S rRNA dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil PCR dimurnikan, kemudian dilakukan sekuensing dengan metode Next‑Generation Sequencing platform Illumina, analisis microbiome dengan Indeks keragaman, dan analisis LefSe.
Hasil Penelitian
Keragaman mikrobiome baik dalam jumlah dan kelimpahannya pada setiap sampel dahak pasien TBC paru MDR-TB komorbid diabet (DM) dan pasien RR-TB nonkomorbid DM, ternyata berbeda berdasar indeks keragaman Alpha.
Filum Actinobacteria menunjukkan kelimpahan lebih tinggi pada pasien RR-TB dibandingkan MDR-TB. dan komorbid atau non komorbid DM mempengaruhi kelimpahan microbiome, kelimpahan mikrobioma pada kelompok non komorbid DM lebih besar daripada kelompok komorbid DM.
Filum Proteobacteria mikrobioma lebih berlimpah pada MDR-TB komorbid DM dibanding RR-TB non komorbid DM. Keragaman genus microbiome lebih besar pada RR-TB non komorbid DM daripada MDR-TB ko morbid DM.
Indeks keragaman Beta menunjukkan struktur komunitas microbiome kelompok MDR-TB komorbid DM berbeda dari kelompok RR-TB non komorbidDM. Kelompok RR-TB non komorbid DM memiliki kelimpahan filum Actinobacteria lebih besar daripada kelompok MDR-TB komorbid DM. Genus mikrobioma terkecil dalam sampel MDR-TB dan RR-TB adalah Actinobacillus (1,3%).
Dengan Analisis LefSe, pada penelitian Lin et al (2021) menunjukkan Delftia sebagai biomarker untuk pasien RR-TB. Penelitian ini dinyatakan genus Rothia adalah potential biomarker yang berperan pada pasien RR-TB non komorbid DM.
Kesimpulan
Genus Rothia sebagai biomarker potensial pada pasien RR-TB. Temuan lain yang menarik adalah karakteristik struktur komunitas mikrobioma dalam MDR-TB dan RR-TB. Selain itu, dalam kasus TBC paru kronis, perlu diperhatikan bahwa meskipun temuan sejumlah kecil filum Actinobacteria dapat menjadi biomarker TBC paru, namun penentu hasil perjalanan proses penyakit infeksi jaringan paru dengan luaran manifestasi klinis selama perawatan pasien TBC paru adalah penggunaan obat anti-TB dengan pilihan kombinasi obat anti-TB yang tepat, dengan mempertimbangkan diversitas mikrobioma.
Penulis: Ni Made Mertaniasih
Informasi detail riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.ijmyco.org/article.asp?issn=2212-5531;year=2021;volume=10;issue=3;spage=260;epage=267;aulast=Wiqoyah
doi: 10.4103/ijmy.ijmy_132_21; Nurul Wiqoyah, Ni Made Mertaniasih, Wayan Tunas Artama, Sohkichi Matsumoto. 2021; Microbiome in Sputum as a Potential Biomarker of Chronicity in Pulmonary Resistant to Rifampicin‑Tuberculosis and Multidrug‑Resistant‑Tuberculosis Patients; International Journal of Mycobacteriology 2021: vol 10. Issue 3: 260 – 267