UNAIR NEWS – Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga adakan kuliah tamu bertajuk “World Recalibrating: Will We See a New Economic Equilibrium”. Dengan mengundang Arianto Patunru, Ph.D dari Australian National University sebagai pembicara. Kuliah tamu yang dimoderatori oleh Martha Ranggi Primanthi S.E., MIDEC diadakan melalui Zoom Meeting pada Senin (29/11).
“Kita akan membicarakan mengenai apakah akan ada ekuilibrium baru atau ekuilibrium ekonomi. Jawabannya tergantung pada apa yang menjadi fokus kita, kemudian ada penyesuaian, kalibrasi ulang, atau perubahan yang mungkin kita terima maupun tidak yang harus kita hadapi karena adanya pandemi COVID-19 ini,” Arianto Patunru mengawali pemaparannya.
Arianto Patunru melanjutkan bahwa situasi seperti pandemi saat ini pernah terjadi. Seperti adanya pandemi flu, SARS, dan sebagainya. Namun yang membedakan terletak pada teknologi, mekanisme, fasilitas kesehatan, serta sistem komunikasi masa sekarang yang lebih baik.
“Namun, masih saja ekonomi terdampak cukup berat dan hampir seluruh negara sebenarnya mengalami krisis ekonomi karena perubahan yang tiba-tiba. Pada dasarnya, secara makro, kita tidak pernah memiliki ekuilibrium yang konstan. Tapi dalam pandangan secara makro, biasanya ekuilibrium berarti keadaan stasioner dalam jangka panjang,” terangnya.
Selanjutnya, Arianto Patunru menunjukkan grafik buatannya mengenai perbandingan tiga krisis ekonomi yang pernah terjadi di dunia. Pertama adalah AFC (Asian Financial Crisis) pada tahun 1997-1998. Krisis kedua adalah GFC (Global Financial Crisis) pada tahun 2008-2009. Ketiga, krisis yang sedang terjadi saat ini yakni krisis ekonomi pandemi COVID-19 yang dimulai dengan cara yang berbeda dengan kedua krisis sebelumnya karena awalnya dimulai dari krisis kesehatan lalu berkembang menjadi krisis ekonomi.
Berdasarkan grafik tersebut, jelas Arianto Patunru, menunjukkan bahwa krisis yang dialami saat ini sebenarnya bisa dibilang gawat namun tidak separah AFC. Dalam krisis ekonomi global (GFC) Indonesia tidak terlalu terkena dampak karena beberapa alasan. Alasan pertama, karena pengalaman berat saat krisis ekonomi tahun 1998, pemerintah Indonesia mengadakan reformasi besar-besaran, dan melakukan perbaikan yang dapat memberikan Indonesia fundamental yang lebih kuat. Kedua, karena GFC berasal dari Eropa dan US sehingga tidak terlalu berdampak ke perekonomian Indonesia. Ketiga, faktor keberuntungan, karena paparan kita terhadap perdagangan internasional tidak sebesar negara lain.
“Jadi, apa yang berusaha saya sampaikan adalah bahwa sebenarnya kita telah pulih, setidaknya untuk saat ini, dalam kondisi perekonomian. Namun masih terdapat beberapa isu yang perlu kita perhatikan,” imbuhnya.
Untuk sementara ini, sambung Arianto Patunru, resesi atau penurunan roda ekonomi telah berakhir. Namun sayangnya pandemi masih terjadi. Jadi masih ada kemungkinan pandemi akan menyebabkan resesi ekonomi sekali lagi. Seperti pandemi-pandemi sebelumnya, dunia masih bisa pulih dengan adanya teknologi untuk mengembangkan vaksin terhadap penyakit tersebut. Jadi masih ada kemungkinan adanya ekuilibrium, dalam artian masyarakat harus hidup dengan pandemi COVID-19 ini apapun variannya.
“Pada satu titik mungkin ekuilibrium terjadi dengan adanya vaksinasi setiap tahun. Dan saya percaya adanya perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan dapat menyesuaikan dengan kondisi untuk keberlangsungan hidup peradaban manusia. Tapi kita tidak boleh lengah dulu karena masih ada kemungkinan di masa transisi muncul beberapa masalah. Jadi kita harus siap hidup dalam pandemi ini,” tegasnya.
Penulis: Tyas Ratna Manggali
Editor: Nuri Hermawan