FISIP UNAIR Gelar Diskusi Film Membahas Diversity di Film Raya and The Last Dragon

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Dr. Bruno Lovric saat memaparkan represtatif naga dalam diskusi film di America Muovie Disscussion Session (Amuse) yang diadakan oleh Universitas Airlangga (UNAIR).

UNAIR NEWS – Raya and The Last Dragon sejatinya merupakan sebuah film animasi Disney pertama yang mengadaptasi legenda dari beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Film garapan Carlos Lopez Estrada dan Don Hall tersebut sempat tuai pro dan kontra yang menimbulkan adanya stereotypes.

“Salah satu stereotypes beranggapan bahwa film Raya masih membawa gagasan western (orang barat) secara monolitik mengenai budaya timur dan wacana yang berakar pada imajinasi orientalis yang secara inheren menekankan superioritas orang barat?,” papar Dr. Bruno Lovric.

Dr. Bruno sendiri masih bertanya-tanya akan hal tersebut. Sebagai seorang Associate Professor di Departemen Komunikasi De La Salle Manila yang telah menulis banyak artikel yang melibatkan isu-isu soft power, budaya pop transnasional dan hiburan, Bruno mencoba membeberkan sudut pandanganya dalam wadah diskusi di American Movie Discussion Session (Amuse) yang diadakan oleh Universitas Airlangga (UNAIR).

Dalam penjelasannya, beliau menuturkan bahwa, “Film Raya tidak menekankan adanya superioritas orang barat. Adanya diversity film tersebut tentu membawakan keanekaragaman budaya dari Asia Tenggara. Kalian tidak bisa mendeskripsikan  Raya dalam bentuk satu negara karena dia membawa diversity dari adanya Indonesia, Malaysia, Filiphina, Vietnam dan beberapa negara yang merupakan bagian dari Asia Tenggara.”

“Rasanya sulit membayangkan adanya kuil hutan dan patung naga tanpa membangkitkan budaya imajiner dari Asia. Representasi budaya Asia begitu kuat ditonjolkan dalam film,” sambungnya.

Bruno mencoba menguatkan narasinya dengan memperlihat kuatnya representasi budaya Asia dalam beberapa adegan di film Raya. “Salah satu adegan menunjukkan Raya tengah berada di padang pasir. Asia Tenggara tentu tidak terkait dengan padang pasir. Namun di Vietnam ada Bao Trang atau yang kita kenal sebagai White Sand Dunes,” ucap Bruno.

“Bunga sakura yang tampak dalam film merupakan representasi dari Asia begitu juga dengan banyaknya candi yang terlihat di film. Bahkan representasi dari beberapa detail elemen seperti baju yang dikenakan oleh pemain itu mengambil dari baju setiap budaya yang ada di Asia Tenggara,” ungkapnya.

Tuntutan representasi yang lebih inklusif tentu mendorong para pelaku industri kreatif untuk memikirkan kembali pendekatan dan isu budaya yang terkandung dalam karya mereka. Dengan lebih menonjolkan representasi budaya itu dapat mematahkan stereotype yang menganggap bahwa film tersebut masih membawa gagasan western.

Penulis: Zahwa E. Bella

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp