Refleksi UNAIR ke-67: Re-Internalisasi Pendidikan Karakter Para Pahlawan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Kantor Manajemen atau Rektorat UNAIR di Kampus C. (Foto: PKIP UNAIR)

Rabu (10/11/21) merupakan momen bersejarah bagi Universitas Airlangga (UNAIR). Tepat pada tanggal 10 November 1954, UNAIR resmi berdiri. Peresmian Universitas Airlangga dikukuhkan oleh Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 57/1954. Berdirinya UNAIR bertepatan dengan hari Pahlawan Nasional. Tentunya ini menjadi semangat bagi UNAIR untuk mencetak cendekiawan hebat yang berintegritas tinggi dan mampu berkiprah demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan melalui prestasi yang berhasil dicapai oleh UNAIR yaitu menjadi 500 World Class University (WCU), versi QS World University. Dalam QS World University, UNAIR menduduki peringkat ke-465 top dunia dan peringkat ke-4 top nasional. Peringkat UNAIR ini mengalami pencapaian yang signifikan yaitu naik 65 poin dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat 520-530. Pencapaian tersebut merupakan bentuk pengakuan dunia atas reputasi yang dimiliki oleh UNAIR. 

Keberhasilan ini tidak diperoleh dengan begitu saja, Pasalnya, Menurut Prof Muh Nasih, ada tiga indikator utama yang menjadi penilaian. Pertama yaitu Academic Reputation yang dilihat dari kerjasama UNAIR dengan akademisi dan penelitian dunia. Pada indikator ini, UNAIR menduduki peringkat ke-310 top dunia. Kedua yaitu Employer Reputation yang dilihat dari profile alumni yang berkualitas. Pada indikator ini, UNAIR menduduki peringkat ke-176 top dunia. Dan terakhir yakni indikator Faculty Identity Ratio yang  naik 47 poin menjadi peringkat ke-346 top dunia. Pencapaian hebat ini merupakan hasil dari kolaborasi seluruh civitas akademika UNAIR dalam menghasilkan karya dan prestasi terbaik di berbagai bidang ilmu. Sejalan dengan motto “Éxcellence With Morality,” UNAIR bertekad untuk memprioritaskan capaian prestasi yang terintegrasi dengan moral dan akhlak. UNAIR menginginkan civitas akademikanya menjadi insan yang kreatif, inovatif, dan bermoral, karena majunya suatu bangsa dilihat dari karakter dan moral pemudanya yang unggul (Republika.id, 2021).

Karakter merupakan potret diri yang sesungguhnya. Pola perilaku baik atau buruk seseorang akan membentuk dan memperkuat karakter, Di era globalisasi ini, moral dan karakter menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh Indonesia. Nilai kejujuran, kesopanan, ketertiban dan nilai luhur yang terkandung dalam ideologi bangsa kini mulai rapuh tergeserkan oleh doktrin barat. Dekadensi moral semakin banyak terjadi. Hal ini ditandai dengan kenaikan tingkat kriminalitas sebesar 38,45 persen sejak pandemi sampai new normal  (CNN Indonesia, 2020). Kasus pencurian mendominasi sebanyak 282 kasus atau 68,1 persen. Kasus ini diduga meningkat karena masa transisi menuju new normal. Selain itu, kasus penyalahgunaan narkoba juga menjadi bentuk kriminalitas yang cukup tinggi di Indonesia.  Mirisnya, menurut Dewan Pengurus Pusat (DPP) Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba (Artipena), 27% pengguna narkoba adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Mahasiswa yang dipandang sebagai orang terdidik, calon pemimpin bangsa justru terjerat narkoba.

Berbagai bentuk dekadensi moral yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi tantangan baru untuk melakukan tatanan kembali terhadap pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter harus diupayakan untuk memperkokoh karakter bangsa dan visi kebangsaan guna revitalisasi ketahanan bangsa. Pendidikan karakter tidak hanya membahas terkait moralitas saja, namun juga mecakup kompetensi dan karakter pelajar atau mahasiswa itu sendiri. Seperti halnya implementasi pendidikan karakter pada pendidikan vokasi. Karakter menjadi salah satu aspek penting bagi pendidikan vokasi, karena untuk membangun link and match antara pendidikan vokasi dengan industri, perlu dibangun rasa percaya antara keduanya. Rasa percaya ini didapat jika keduanya memiliki karakter yang baik. Pendidikan vokasi tidak boleh hanya berfokus pada hard skill saja. Namun, lebih memperhatikan soft skill dan karakter. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Vokasi, Wikan Sekarinto mengungkapkan bahwa pendidikan karakter dianggap sebagai bentuk kelengkapan individu untuk dapat bersaing di dunia kerja dan perubahan industri di masa depan. Hard skill, soft skill dan karakter akan membentuk kompetensi yang kuat dan dapat survive dalam setiap fase perubahan. Industri membutuhkan orang-orang yang memiliki karakter baik, siap menghadapi tantangan, mampu berkomunikasi dengan baik dan beradaptasi dengan perubahan teknologi. Oleh karena itu, sebagai pendidikan yang menghasilkan lulusan siap kerja, pendidikan vokasi dapat menjadi pionir dalam pengembangan karakter yang berkualitas.

Representasi nilai pendidikan karakter dapat mengacu pada sikap keteladanan pahlawan nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa dengan meneladani sikap pahlawan diharapkan dapat mengambil nilai-nilai karakter pejuang bangsa sekaligus sebagai salah satu cara untuk menghargai jasa-jasa mereka. Mahasiswa harus dibekali karakter yang utuh dan menyeluruh. Mahasiswa harus mampu menjadi pahlawan generasi muda yang memiliki semangat dalam berinovasi, berjiwa  kritis, berdaya saing, serta mampu memberikan aksi nyata untuk berperang dengan permasalahan bangsa. Sejalan dengan penguatan pendidikan karakter,  pada tahun ini UNAIR memperingati Dies Natalis dengan mengusung tema “67 Tahun Universitas Airlangga Berkontribusi Signifikan Secara Lokal, Nasional, dan Global”. Hal tersebut sebagai wujud bakti UNAIR kepada bangsa dan negara dalam upaya mencetak generasi yang kontributif, berintegritas dan bermoral.  Selamat Ulang Tahun UNAIR ke 67 dan Selamat Hari Pahlawan.

Penulis: Tika Widiastuti

(Wakil Dekan 1 Fakultas Vokasi Unair)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp