Peran Ular Akuatik terhadap Potensi Penularan Penyakit Sparganosis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Pintar Pet

Sparganosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh stadium larva plerocercoid (spargana) cacing pita dari genus Spirometra (Cestoda: Diphyllobothriidae) yang sering menginfeksi hewan vertebrata seperti reptil, amfibi dan mamalia termasuk manusia. Hewan lain dari keluarga kucing dan anjing dikategorikan sebagai inang definitif, dimana spargana dapat berkembang menjadi cacing pita dewasa dalam dinding usus. Stadium procercoid dapat ditemukan pada copepod atau udang renik (Cyclopidae), yang bertindak sebagai inang perantara pertama. Ketika copepoda terinfeksi procercoid dicerna oleh inang perantara kedua (ular, biawak, kecebong, katak, dan bahkan manusia) procercoid berkembang menjadi stadium plerocercoid. Plerocercoid dapat bertahan hidup sebagai bentuk larva infektif untuk waktu yang lama di beberapa inang perantara kedua dan inang paratenik, seperti  reptil, amfibi, babi hutan, babi domestik, unggas dan manusia. Sparganosis pada manusia sering terjadi karena konsumsi daging mentah (ular, katak atau kodok) yang terinfeksi plerocercoids, meminum air yang terkontaminasi dengan copepoda yang terinfeksi procercoid dan sebagian kecil melalui kontak langsung luka terbuka pada kulit dengan produk biologis inang perantara yang digunakan sebagai pengobatan tradisional.

Stadium plerocercoid dapat menginfeksi di berbagai area tertentu dengan melakukan proliferasi seperti pada jaringan subkutan, mata, payudara, sumsum tulang belakang, dan otak, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan signifikan yang mengarah ke kondisi patologis serius seperti kelumpuhan, kekurusan dan bahkan kematian pada kondisi penyakit kronis. Ocular sparganosis  adalah penyakit yang disebabkan oleh plerocercoid yang bermigrasi sebagian besar ke dalam organ mata dari inang perantara. Infeksi mata terutama terkait dengan adanya plerocercoids dalam daging atau kulit katak, yang secara tradisional digunakan untuk mengobati terbuka, dimana masih menjadi kebiasaan masyarakat di beberapa negara Asia seperti: Tiongkok, Thailand, dan Vietnam. Menurut Kikuchi dan Maruyama (2020), lebih dari 2000 kasus sparganosis pada manusia telah dilaporkan di seluruh dunia dari tahun 2011 hingga saat ini, dengan lebih dari 80% kasus berasal dari Tiongkok dan diikuti  oleh beberapa negara Asia seperti Korea, Thailand dan Jepang. Menurut laporan dari Jeon et al., (2019), manusia di sebuah desa di Korea diketahui terinfeksi sparganosis melalui daging ular mentah yang dikonsumsi untuk menyembuhkan penyakit infeksius kronis seperti TBC, radang sendi, atau penyakit gangguan saluran reproduksi. Plerocercoid dapat bertahan hingga 20 tahun di jaringan manusia atau organ dalam.  Angka prevalensi sparganosis di Asia yang cenderung tinggi mungkin terkait dengan kebiasaan kuliner, dimana ular yang merupakan inang perantara seringkali dimanfaatkan untuk bahan konsumsi serta pengobatan tradisional.

Di Indonesia, banyak dijumpai restoran lokal yang menyediakan hasil tangkapan liar ular sebagai produk kuliner, meski beberapa spesies ular yang ditangkap di alam liar telah dilaporkan rentan terhadap infeksi sparganosis. Prevalensi tertinggi (>50%) dan intensitas sparganosis di Indonesia telah dilaporkan pada jenis ular yang sangat berbisa seperti green pit viper (Trimeresurus insularis), diikuti oleh ular jail (Ptyas mucosus), ular kobra jawa (Naja sputatrix) dan ular talipicis (Dendrelaphis pictus). Distribusi plerocercoid telah dicatat dari bagian daging, organ visceral dan jaringan subkutan ular yang ditangkap secara liar, yang berdampak pada perdarahan dan pembengkakan jaringan terinfeksi. Jenis ular yang sudah pernah diteliti tersebut dikategorikan sebagai terestrial atau arboreal, dan terjadinya sparganosis di ular akuatik sejauh ini di Indonesia masih belum diketahui. Berdasarkan prevalensi sparganosis yang tinggi pada beberapa spesies ular tangkapan liar, dengan rata-rata lebih dari 50% tingkat prevalensi dan potensi risiko ular yang ditangkap di alam liar dalam penularannya di Indonesia, maka penting  untuk mendeteksi terjadinya sparganosis pada ular akuatik yang sering ditemukan tersebar di seluruh wilayah Indonesia yaitu ular macan air (Fowlea melanzostus), dimana sering ditemukan di habitat perairan alami seperti sungai, kolam dan danau yang kemungkinan juga dapat digunakan untuk tujuan kuliner atau dipelihara sebagai hewan peliharaan yang eksotik. Selain itu, pentingnya untuk mengungkap kejadian sparganosis di ular macan air akan mengindikasikan bahwa lingkungan akuatik juga menjadi sumber yang potensial dalam menularkan sparganosis ke sesame hewan dan bahkan manusia, mengingat penularan melalui inang perantara pertama (copepod) juga berasal dari lingkungan akuatik.

Metode dan Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan November 2020 hingga Februari 2021. Ular macan air dikumpulkan dari pengepul lokal di tiga wilayah Kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Sempu, Kecamatan Rogojampi, dan Kecamatan Kalipuro di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Jumlah total sampel yaitu 55 ekor ular yang dikategorikan sesuai dengan kelompok umur dan panjang badan seperti hatchling (0-30 cm), juvenile (31-85 cm) dan dewasa (86-135 cm). Ular yang dijadikan sampel tersebut dikategorikan sebagai hasil tangkapan liar karena tidak ada tempat penangkaran untuk jenis ular macan air di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Selain itu status konservasi ular macan air tergolong “least concern” atau populasi di alam masih melimpah sehingga bukan termasuk satwa liar dilindungi. Ular yang telah dikoleksi selanjutnya diperiksa untuk tanda-tanda klinis sparganosis seperti nodul subkutan dan reaksi nyeri selama dilakukan palpasi pada beberapa bagian tubuh. Setelah dilakukan konfirmasi gejala klinis maka ular dieutanasia menggunakan etil-eter sebagai anestesi inhalasi. Setelah itu dilakukan proses pemisahan kulit dari daging, visceral dan jaringan subkutan. Pengamatan bagian demi bagian dilakukan dengan mata telanjang untuk mendeteksi plerocercoids. Jika ditemukan spargana pada bagian tertentu maka dengan hati-hati diambil dengan menggunakan pinset dan ditempatkan dalam larutan garam fisiologis untuk membersihkan sisa kotoran dan mengamati reflek gerakannya. Kemudian, jumlah spargana yang ditemukan dari ular dicatat untuk menghitung tingkat prevalensi dan intensitas infeksi. Konfirmasi stadium plerocercoid Spirometra spp. dilakukan dengan pewarnaan carmine dan pengamatan mikroskop pada bagian scolex dan proglottid dengan perbesaran 100x. Temuan dalam penelitian ini, menegaskan kejadian sparganosis pada ular macan air dari Kabupaten Banyuwangi untuk pertama kalinya. Prevalensi sparganosis tercatat sebesar 92,72% dari keseluruhan sampel ular. Sebanyak 1116 spargana berhasil dikumpulkan dari 51 ular yang positif sparganosis. Pada masing-masing ular yang positif, spargana terletak di bagian daging, viscera atau jerohan, dan jaringan subkutan dengan tingkat intensitas masing-masing tercatat sebesar 57,97%, 13,62%, dan 25,08%. Selain itu, spargana yang ditemukan diidentifikasi dengan tubuh pipih, berwarna putih solid dengan bentuk menyerupai pita dan segmentasi semu. lebar rata-rata dan panjangnya masing-masing adalah 0,7-0,9 dan 15-20 cm. Spargana yang ditemukan paling panjang di penelitian ini adalah berukuran 23 cm.

Gejala klinis seperti dehidrasi parah yang menyebabkan kelesuan dan kekurusan diketahui sebagai temuan umum di antara ular yang menderita infeksi sparganosis. Anemia dengan selaput lendir pucat juga telah dicatat sebagai tanda klinis umum di antara ular tangkapan liar, yang dimanfaatkan sebagai exotic pet. Beberapa kondisi yang mungkin terjadi berkontribusi pada tanda penyakit sparganosis kronis pada ular dan memunculkan gejala seperti peradangan otot atau kulit, malnutrisi, ulserasi di saluran pencernaan dan kerusakan saluran kemih setelah dehidrasi parah berlanjut tanpa pengobatan dari dokter hewan.

Angka prevalensi tinggi yang tercatat dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh insting alami ular Fowlea melanzostus, yang sering berburu dan memangsa hewan lain yang ada di sekitarnya. Jika melihat dari habitatnya, maka berbagai jenis ikan dan katak sering dijadikan mangsa oleh ular jenis ini. Selain itu, ketika ular meminum air dari sungai, ular juga mungkin menelan copepoda air tawar, yang sudah terinfeksi dengan procercoids sehingga siklus hidup parasit akan berlanjut di tubuh ular sebagai inang perantara kedua. Studi sebelumnya di Kabupaten Banyuwangi menemukan bahwa katak sawah (Rana rugulosa) positif terinfeksi Spirometra erinaceieuropaei, dan katak tersebut juga menjadi mangsa ular macan air di alam.. Beberapa restoran lokal di Provinsi Jawa Timur juga ditemukan memanfaatkan hasil tangkapan liar ular macan air untuk keperluan kuliner dan biasanya disajikan bersama dengan olahan masakan daging biawak air. Sepanjang pengetahuan kami, hasil penelitian ini merupakan yang pertama kali berhasil mengungkap infeksi sparganosis secara detail pada jenis ular macan air (Fowlea melanzostuz) dari Kabupaten Banyuwangi, sekaligus menjadi studi pertama tentang sparganosis pada ular akuatik yang dapat ditemui sebarannya di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan tingkat prevalensi dan intensitas yang tinggi dari sparganosis pada ular akuatik Fowlea melanzostus hasil tangkapan liar, maka dapat disimpulkan bahwa ular ini dapat bertindak sebagai inang perantara yang rentan terhadap infeksi cacing pita Spirometra spp. sebagai agen penyebab utama penyakit. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa lingkungan akuatik memiliki potensi yang signifikan dalam penularan sparganosis antar hewan liar terutama dari jenis reptil akuatik. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut direkomendasikan untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang peran berbagai spesies ular, yang mungkin bertindak sebagai inang perantara dalam habitat akuatik. Pengawasan konsumsi daging satwa liar juga harus diperkuat oleh pemerintah, karena sparganosis memiliki pengaruh yang signifikan tidak hanya pada aspek kesehatan masyarakat tetapi juga kestabilan ekosistem dan keanekaragaman hayati satwa liar asli Indonesia.

Penulis : Aditya Yudhana

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada artikel prosiding terindeks scopus kami di laman:

https://www.indianjournals.com/ijor.aspx?target=ijor:jvp&volume=35&issue=1&article=010

Yudhana, A., Praja, R.N., Pratiwi, A., and Kartikasari, A.M. 2021. Sparganosis in wild-caught Javanese keelback water snakes (Fowlea melanzostus) from Indonesia. Journal of Veterinary Parasitology, 35(1): 56-63.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp