Evaluasi Kinerja Keuangan BPR dan BPRS di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto dari Berempat

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan alternatif penyedia keuangan bagi masyarakat yang tidak terjangkau oleh sektor perbankan. Sebagian besar LKM beroperasi di negara berkembang. Di Indonesia, permintaan potensial dalam keuangan mikro diminati oleh wiraswasta dan masyarakat yang tidak memiliki pekerja yang dibayar.

Bank Perkreditan Rakyat atau yang dikenal dengan BPR merupakan salah satu jenis LKM yang berkembang di Indonesia. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, lembaga-lembaga tersebut resmi beroperasi. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional berdasarkan prinsip syariah (disebut Bank Pembiayaan Rakyat Syariah/BPRS) tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran dalam kegiatannya. Dengan demikian, BPR memiliki beberapa perbedaan dengan Bank Umum, yaitu mereka memiliki persyaratan modal yang jauh lebih kecil dari Bank Umum dan target mereka adalah untuk melayani kebutuhan kredit petani, nelayan, pedagang kecil, karyawan, pensiunan, dan lapisan masyarakat lainnya yang belum terjangkau oleh rekan-rekan mereka agar tidak terjebak oleh rentenir.

Perkembangan BPR dan BPRS yang luar biasa perlu diimbangi dengan kinerja keuangan yang prima. Hal ini penting karena pangsa pasar mereka kecil yang berbasis pada usaha mikro dengan risiko gagal bayar yang tinggi. Menurut Lembaga Penjamin Simpanan/LPS, sejak Januari 2006 hingga Agustus 2016, 72 unit atau 4,4 persen BPR dan dua unit atau 1,2 persen BPRS dilikuidasi. Selain itu, terdapat 24 BPR dan BPRS dalam proses likuidasi sejak September 2016 hingga Juli 2019 karena ketidakmampuan bersaing di industri perbankan dan banyaknya tindakan fraud yang dilakukan oleh pengurus atau pemilik bank mikro tersebut yang berujung pada kasus pidana.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja efisiensi bank perkreditan rakyat konvensional dan syariah di Indonesia, khususnya BPR dan BPRS. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat sekunder dan diperoleh dari laporan keuangan BPR dan BPRS selama lima tahun terakhir mulai tahun 2013 hingga 2017 yang telah tersedia di laman Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan data yang dihimpun OJK, hingga tahun 2017 terdapat 1.619 BPR dan 167 BPRS. Setelah dilakukan kategorisasi, sampel penelitian digunakan sebanyak 1.271 BPR dan 113 BPRS. Pengukuran efisiensi BPR Konvensional dan Syariah dilakukan dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) non parametrik. Fokus pengukuran ini adalah pada kontribusi perubahan teknis dalam skala Total Factor Productivity (TFP)..

Studi menyimpulkan bahwa BPR dan BPRS masih belum efisien dalam menjalankan peran intermediasinya. Namun, kedua lembaga tersebut telah terbukti efisien dalam aspek produksi. Untuk meningkatkan efisiensi intermediasi dan produksi, kedua lembaga harus menambah modal. Hal ini dikarenakan, dari hasil estimasi Tobit, rasio kecukupan modal berpengaruh positif signifikan terhadap efisiensi teknis pada kedua pendekatan. Selain itu, faktor lokasi juga memiliki pengaruh karena dapat dilihat bahwa semakin banyak yang ada di kota, semakin besar potensi efisiensinya. Secara keseluruhan efisiensi terkait produksi dan intermediasi BPRS relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan BPR yang menunjukkan kinerja keuangannya lebih baik. Hal ini tentu sejalan dengan banyaknya BPR yang dilikuidasi oleh LPS yang dirasa kurang aman karena selisih usia yang dilikuidasi 1,2 persen lebih muda 4 unit atau 2,2 persen sedang dalam proses likuidasi.

Penulis: Wasiaturrahma, Raditya Sukmana, Shochrul Rohmatul Ajija, Sri Cahyaning Umi Salama, Ahmad Hudaifah

Link full artikel:Financial performance of rural banks in Indonesia: A two-stage DEA approach – ScienceDirect

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp