Kecacatan sebagai Komplikasi Lepra pada Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh noticiasenlafrontera.net

Lepra atau kusta merupakan penyakit infeksi bakteri yang masih menjadi masalah kesehatan terutama di negara berkembang, seperti di Indonesia. Penyakit ini menyerang saraf sehingga dapat menyebabkan disabilitas dan menimbulkan stigma di masyarakat. Pada tahun 2020, World Health Organization (WHO) melaporkan 202.185 kasus baru di seluruh dunia, dari 127 negara. Lepra tidak hanya menyerang orang dewasa namun juga dapat menyerang anak-anak. Lepra pada usia anak-anak mengindikasikan adanya sumber penularan yang aktif di masyarakat. Tahun 2020, prevalensi lepra ada anak mencapai 0,2 per 10.000 kasus dengan 14.982 (7,40%) kasus terjadi pada anak-anak.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, lepra dapat menyebabkan kecacatan atau disabilitas. Menurut WHO, disabilitas pada pasien lepra dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tingkat O – tidak ada disabilitas (tidak ada anestesi/mati rasa) dan tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat pada mata, tangan, atau kaki; tingkat 1 – kehilangan sensibilitas pada mata, tangan, dan kaki; tingkat 2 – adanya deformitas atau kerusakan yang terlihat pada mata, tangan, atau kaki. Salah satu target dari The Global Leprosy Strategy adalah nol kasus lepra pada anak dengan disabilitas tingkat 2. Namun berdasarkan data tahun 2020, masih terdapat 10.813 kasus baru lepra yang mengalami disabilitas tingkat 2 dengan 370 (3,42%) dialami anak-anak.

Sebuah studi potong lintang retrospektif menggunakan rekam medis pasien lepra anak yang dilakukan di tujuh provinsi di Indonesia mulai dari Januari 2014 hingga Desember 2019 melaporkan bahwa terdapat 132 kasus lepra anak baru terdiagnosis selama 5 tahun penelitian. Sebanyak 58,33% merupakan pasien lepra anak lak-laki. Studi lain juga menyebutkan bahwa lebih banyak pasien lepra anak laki-laki. Di Indosia sendiri pada tahun 2018, dilaporkan sebanyak 9.872 kasus terjadi pada laki-laki dan 6.048 kasus terjadi pada perempuan. Hal ini disebabkan karena adanya faktor lingkungan dan sosio kultur, misalnya anak laki-laki lebih banyak beraktivitas di luar ruangan. Selain itu orang tua juga kurang perhatian dengan kondisi medis anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan. Lepra tipe borderline tuberculoid (BT) paling banyak ditemui dalam penelitian ini.

Kelompok usia terbanyak yang dilaporkan dalam penelitian ini yaitu usia 13-14 tahun (47,73%). Lepra merupakan penyakit yang membutuhkan waktu inkubasi cukup panjang sehingga usia remaja lebih umum mengalami penyakit ini. Kebanyakan pasien lepra anak mengeluhkan adanya makula/bercak hipopigmentasi yang anestesi/mati rasa pada kulit (92,42%) sedangkan sisanya mengeluhkan adanya nodul/benjolan kecil.

Pada penyakit lepra terdapat suatu kondisi yang disebut reaksi lepra. Reaksi lepra merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang dapat terjadi selama atau setelah pengobatan lepra dan menjadi salah satu kegawatdaruratan. Reaksi lepra juga menjadi penyebab utama kerusakan saraf dan morbiditas pasien lepra. Dalam penelitian ini laporkan sebanyak 14 pasien (10,61%) mengalami reaksi tipe I dan 20 pasien (15,15%) mengalami reaksi tipe II. Beberapa studi menyatakan bahwa pada anak-anak jarang mengalami reaksi lepra.

Sebanyak 34 (25,76%) pasien lepra anak dalam penelitian ini mempunyai disabilitas, dengan 14 (10,61%) tergolong dalam kecacatan tingkat I dan 20% (15,15%) tergolong dalam kecacatan tingkat 2. Disabilitas pada tangan paling banyak ditemui pada anak dalam penelitian ini. Empat (40,00%) pasien mengalamani claw hand, tiga (30,00%) pasien mengalami kontraktur, dua (20,00%) mengalami atropi pada otot lengan bawah, dan satu (10,00%) mengalami pseudomutilasi. Disabilitas lain yang ditemui dalam penelitian ini yaitu disabilitas pada kaki sebanyak delapan (6,07%) dengan perincian yaitu lima (62,05%) mengalami foot drop dan tiga (37,50%) mengalami ulkus. Selain itu juga ditemukan kecacatan pada mata yaitu lagophthalmos atau matanya tidak bisa menutup sempurna yang terjadi pada satu pasien.

Adanya disabilitas pada lepra anak di Indonesia menunjukkan bahwa masih ada tramsisi aktif penularan lepra serta adanya keterlambatan dalam diagnosis dan terapi lera. Disabilitas yang terjadi, terutama pada anak, dapat menyebabkan kesulitan dalam hal pendidikan anak, kehidupan sosial, aktivitas sehari-hari, dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Disabilitas ini disebabkan karena kelalaian anggota keluarga, kurangnya kerja sama, dan keterlambatan diagnosis dan terapi sehingga menimbulkan kecacatan yang dapat mengganggu kehidupan anak di masa depan. Pasien lepra anak yang ditemui dalam penelitian ini sebagian besar sudah selesai menjalani terapi atau RFT (release from treatment). Data ini penting untuk mencegah kecacatan pada pasien lepra anak dan menjadi perhatian bagi perencana program kesehatan untuk merencanakan aksi khusus bagi pasien lepra anak.

Penulis: Prof.Dr.Cita Rosita Sigit Prakoeswa,dr.,Sp.KK(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34511959/

Characteristics of Grade-2 Disability in Indonesian Children with Leprosy: A Five-Year Multicenter Retrospective Study

Hendra Gunawan,  Atika Kamilia, Sri Linuwih Menaldi, Melani Marissa, Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Medhi Denisa Alinda, Dhelya Widasmara, Santosa Basuki, Qaira Anum, Tutty Ariani, Enricco H Mamuaja, Luh Made Mas Rusyati

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp