Budaya Strategis Hubungan Indonesia dan Australia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: pexelscom

Hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia adalah satu di antara sekian tema kebijakan luar negeri yang paling dinamis. Bukan soal jarak, tetapi perbedaan budaya dan sejarah politik kedua bangsa yang sering menjadi batu sandungan bagi Jakarta dan Canberra dalam membina relasi yang senantiasa harmonis. Di satu sisi Indonesia mempunyai rasa nasionalisme teritorial yang sangat kuat, sebagai warisan masa revolusi kemerdekaan dan pelbagai peristiwa pemberontakan dengan campur tangan asing di masa-masa formatif 1950an. Sementara Australia mempunyai tradisi liberal kental bercorak Britania sebagai identitas perekat Persemakmuran.

Dalam perjalanan kedua tetangga dekat kerap bersitegang akibat persoalan-persoalan yang sebenarnya merupakan urusan domestik masing-masing, namun diekspos keluar terutama oleh pihak Australia. Yang paling mengganggu adalah pemisahan Timor Timur dari Ibu Pertiwi yang juga merupakan buah intervensi Australia. Momen tersebut menjadi titik terendah bagi kedua belah pihak. Suara-suara nasionalis di Tanah Air menghendaki Pemerintah Indonesia bersikap tegas dan memutuskan kerja sama diplomatik maupun ekonomi dengan Australia. Di pihak Canberra, kalangan politisi liberal menuntut agar pelanggaran HAM berat yang dilakukan milisi pro-integrasi diusut tuntas dan para tersangka diadili.

Tidak hanya soal Timor Timur, insiden demi insiden berlangsung, misalkan pengusiran imigran gelap yang datang dari perairan Indonesia menuju Australia dan aksi speonase terhadap percakapan pribadi lingkaran dalam Istana Merdeka membuat Jakarta berang. Ditambah ujaran ‘pancagila’ yang menyulut emosi nasionalis. Namun, semua bisa diredam dengan semangat saling menghormati dan menahan diri. Disinlah faktor budaya berperan. Hubungan antarnegara pun tidak luput dari pengaruh nilai, norma dan keyakinan kolektif yang membentuk perilaku para pembuat kebijakan luar negeri. Dalam horizon strategis, faktor budaya sering dikaitkan dengan kemampuan dan kekuatan bangsa, sehingga muncul istilah budaya strategis.

Indonesia dan Australia jelas memiliki budaya strategis berbeda karena asupan aneka ragam konteks sosial, historis dan geografis. Tetapi ada perekat yang dikembangkan oleh pemimpin maupun masyarakat kedua bangsa. Kohesi dimaksud dibangun di atas rasa saling percaya bahwa keduanya mau dan bisa menjalin relasi timbal balik yang selaras dan saling menguntungkan. Hal ini diwujudkan melalui bermacam kegiatan bersama yang melibatkan unsur-unsur pemerintahan, parlemen hingga elemen-elemen sosial keamsyarakatan. Sektor ekonomi dan sosial kultural dipromosikan sebagai alternatif hiruk pikuk politik yang multipretatif. Kedua pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Scott Morrison berhasil merampungkan perjanjian perdagangan dan kerja sama ekonomi komprehensif yang mencakup sektor barang, jasa dan investasi. Selain itu, kolaborasi di sektor keamanan meningkat berkat kesamaan visi Jakarta dan Canberra dalam proyeksi Kawasan Indo-Pasifik dan pengembangan arsitektur regional di Samudra Hindia.

Penanganan COVID-19 juga menjadi bidang kerja sama yang kian mendekatkan kedua pemerintah dan masyarakat. Bantuan teknis medis dan vaksin dari Australia dibarengi dukungan sumber daya dan teknologi farmasi juga dirasakan bermanfaat bagi Indonesia. Jadi tidak selalu urusan geopolitik yang rumit menghalangi dua sistem politik dan sosial berbeda untuk membangun relasi yang selaras. Budaya strategis dikelola dengan diplomasi yang efektif.

Penulis: I Gede Wahyu Wicaksana

Artikel lebih lengkap dapat dibaca di Beeson, Mark, Alan Bloomfield, and Wahyu Wicaksana. “Unlikely allies? Australia, Indonesia and the strategic cultures of middle powers.” Asian Security 17, no. 2 (2021): 178-194. https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14799855.2020.1846525

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp