Infestasi Larva dalam Hidung Manusia: Myiasis Nasal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh malaimare.ro

Infestasi larva insekta pada manusia atau hewan vertebra yang masih hidup disebut myiasis. Istilah myiasis berasal dari bahasa Yunani yang berarti lalat.  Secara umum myiasis dibedakan menjadi sanguinivorous atau bloodsucking, cutaneous myiasis, wound myiasis, dan cavitary myiasis. Salah satu bentuk cavitary myiasis yaitu myiasis nasal. Pada manusia, infestasi larva dapat terjadi pada luka yang bernanah, luka terbuka dengan jaringan nekrotik, dan dapat mengenai setiap lubang atau rongga seperti telinga, hidung, mulut, mata, dan traktus urogenital. Infestasi larva di daerah kepala dan leher umumnya terjadi di hidung, nasofaring, sinus paranasal, telinga, dan kulit.

Myiasis nasal adalah kondisi ditemukannya larva dalam kavum nasi, biasanya merupakan infeksi oportunistik pada manusia dan hewan. Keadaan ini sering terjadi di daerah tropik, terutama di negara berkembang yang sanitasinya tidak baik. Daerah tropis memiliki suasana panas dan lembab yang sesuai untuk pertumbuhan larva. Faktor predisposisi antara lain gangguan nutrisi, higienitas buruk, retardasi mental, rinitis atropi, diabetes melitus, midline granuloma dan keganasan di sinonasal. Faktor lain termasuk usia lebih dari 50 tahun dan riwayat pekerjaan. Pada usia lanjut terdapat penurunan fungsi sensoris yang mengakibatkan refleks bersin berkurang sehingga lalat mudah meletakkan telurnya dalam kavum nasi. Nasal myiasis lebih sering dialami petani dan peternak karena mereka sering kontak dengan hewan ternak. Myiasis nasal termasuk penyakit infeksi yang jarang. Ada 4 laporan kasus myiasis nasal yang dilaporkan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Larva yang paling sering menjadi penyebab myiasis nasal berasal dari ordo diptera, kelas insecta, filum arthropoda. Spesies yang termasuk ordo ini antara lain Cochliomyia hominivorax, Chyrsomya bezziana, Oestrus ovis, Wohlfahrtia magnifica, Lucilia sericata, Drosophila melanogaster, dan Calliphoridae cochliomya. Spesies diptera yang pernag dilaporkan sebagai penyebab myiasis di Indonesia yaitu Chrysomya bezziana dan Chrysomya sp, dan Calliphoridae.

Lalat betina sering tertarik ke arah lesi supuratif yang berbau menyengat, kemudian bertelur di sekitar lesi, permukaan mukosa, jaringan lunak, dan berbagai bagian tubuh yang mengandung lendir dan darah. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 12-24 jam dan bergerak masuk ke dalam jaringan. Perkembangan telur menjadi larva dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu di sekitarnya. Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh mengakibatkan lesi semakin besar sehingga kerusakan jaringan semakin parah. Pada pasien rinitis atropi, lalat biasanya tertarik menuju ke hidung karena bau menyengat dari hidung dan rongga hidung yang relatif luas mempermudah lalat masuk ke dalamnya.

Diagnosis myiasis nasal ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien dengan myiasis nasal biasanya datang dengan keluhan epistaksis, ingus kental, hidung buntu dan bau, nyeri wajah, sakit kepala, dan sensasi benda asing yang bergerak di dalam hidung. Endoskopi kavum nasi menunjukkan udim mukosa, ulserasi, jaringan nekrotik, dan larva. Hal berbahaya yang ditakutkan dari myiasis nasal yaitu kemampuan larva untuk berpenetrasi ke jaringan sekitar bahkan hingga ke otak. Myiasis nasal dapat juga menimbulkan rasa malu dan stress pada pasien sehingga mempengaruhi kehidupan sosialnya. Pemeriksaan computed tomography scan (CT scan) diperlukan untuk menyingkirkan komplikasi yang mungkin terjadi akibat aktivitas larva. Magnetic resonant imaging (MRI) dapat dilakukan untuk menyingkirkan infiltrasi larva ke orbita, wajah, atau otak.

Terapi myiasis nasal dilakukan untuk menghilangkan larva parasit dari kavum nasi. Hal ini dapat dilakukan dengan ekstraksi larva secara manual maupun dengan bantuan endoskopi. Ekstraksi larva memiliki tantangan tersendiri karena larva biasanya menggali dan menetap dalam celah mukosa rongga hidung. Penggunaan terapi topikal seperti kloroform, larutan iodin, larutan normal salin, dan anestesi topikal direkomendasikan untuk mempermudah ekstraksi larva. Rekomendasi lain termasuk penggunaan ivermectin atau antihelmentik lain sebagai terapi tambahan selain ekstraksi larva dan irigasi normal salin.

Usaha preventif untuk mencegah terjadinya myiasis nasal dan myiasis secara umum perlu dilakukan selain terapi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak antara host potensial dan lalat, mengobati luka, dan mengurangi atau mengeliminasi populasi lalat. Usaha ini melibatkan berbagai disiplin ilmu dan instansi seperti kesehatan masyarakat dan kedokteran hewan. Sanitasi dan budaya hidup sehat menjadi hal penting yang ditangani oleh bidang kesehatan masyarakat. Dari sisi kedokteran hewan dilakukan usaha untuk mengatasi infeksi myiasis pada hewan agar tidak menular kepada manusia. Selama musim lalat, perlu dilakukan usaha mengendalikan sumber bau yang dapat menarik lalat seperti urin, feses, muntah, sekresi hidung, dan luka terbuka.

Penulis: Rahmi Surayya, Dwi Reno Pawarti

Link Jurnal: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S221026122100746X

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp