Webinar KKG BEM FH UNAIR Refleksikan Lanskap Pelik Perlindungan Hukum Kekerasan Seksual di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret webinar Let’s Do IT! #6 bersama narasumbernya, yakni Apriska Widiangela (kanan atas), Adam Putra Firdaus (kiri bawah), dan Khristianti Weda (kanan bawah). (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Dihadiri lebih dari 500 pemirsa, Kementerian Kesetaraan Gender BEM FH UNAIR kembali mengadakan webinar bulanannya Let’s Do IT! untuk keenam kalinya pada Senin malam (30/8/2021). Dikonsep dengan model gelar wicara, topik yang diulik malam itu adalah sejauh mana perlindungan hukum terkait kekerasan seksual di Indonesia.

Tiga narasumber, semua dari elemen mahasiswa, dihadirkan untuk mengeksplorasi topik tersebut, ialah Koordinator Komite Kajian Hak Perempuan, Anak, dan Keberagaman Gender Amnesty Chapter UNAIR Apriska Widiangela;  Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FH UI Adam Putra Firdaus; dan  Direktur Lokal HopeHelps UNAIR Khristianti Weda.

Disitu Angela menjelaskan bahwa kekerasan seksual pada dasarnya adalah kegiatan yang berbau seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang. Jadi pada intinya perbuatan kekerasan seksual harus terdapat kesan paksaan. Ia menekankan bahwa siapapun dapat menjadi korban kekerasan seksual, tanpa memandang jenis kelamin, gender, dan usia.

“Jenis kekerasan seksual apabila mengutip Komnas Perempuan ada 15 bentuk. Perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, dan masih banyak lagi,” ujar mahasiswi FH UNAIR angkatan 2019 itu.

Problematika utama dari hukum terkait kekerasan seksual di Indonesia menurut Adam adalah terbatasnya rekognisi mengenai jenis-jenis perbuatan kekerasan seksual dan hukum formil yang masih buta terhadap perspektif serta perlindungan korban. Indonesia masih menggunakan produk hukum zaman kolonial yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengenali dua jenis kekerasan seksual, yakni pemerkosaan dan pencabulan. Produk hukum lainnya yang mengatur terkait kekerasan seksual adalah UU Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Anak.

“Apalagi hukum acara pidana kita itu sangat terfokus pada perlindungan hak tersangka dan terdakwa. Sehingga korban rentan terkena viktimisasi sekunder, karena harus menjalani berbagai prosedur pertanyaan yang mungkin traumatik karena asas praduga tak bersalah harus ditegakkan pada kasus ini. Kasus kekerasan seksual perlu penanganan khusus,” tutur Adam.

Weda menambahkan eksplanasi Adam bahwa lanskap pelik ini diperparah dengan aparat penegak hukum dan sistem peradilan yang kerap kali memiliki bias gender dan tidak berperspektif korban. Tak jarang pula korban kekerasan seksual harus ditanyai oleh kepolisian pertanyaan yang relevan dan melecehkan seperti “Kamu pakai baju apa saat kejadian?” atau “Kamu kok keluar jam segitu, kan udah malam.”

“Jadi seakan-akan bahwa korbannya yang salah karena melanggar norma kesusilaan, padahal sejatinya itu murni salahnya pelaku. Sistem peradilan yang diperparah dengan hukum karet seperti UU ITE dan UU Pornografi juga sama. Makanya terjadi kasus-kasus seperti Baiq Nuril. Ia seorang guru honorer yang dilecehkan oleh kepala sekolahnya, tetapi karena ia berusaha angkat bicara soal pengalamannya, ia malah dipenjara karena dilaporkan pencemaran nama baik oleh si pelaku. Presiden sampai memberi amnesti terhadapnya,” ujar alumni FH UNAIR itu.

Oleh itu, ketiga narasumber setuju bahwa lanskap pelik ini adalah potret urgensi agar DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Angela menuturkan bahwa RUU ini memperluas lingkup terkait perbuatan kekerasan seksual. Adam menjelaskan bahwa RUU ini terdapat prosedural khusus dalam penanganan kasus kekerasan seksual, seperti korban tak lagi dibebani oleh pembuktian dan pemeriksaan harus di ruang khusus dan berperspektif korban. Petugas yang menggunakan pendekatan melecehkan bahkan dapat diberikan sanksi. Weda juga mengatakan bahwa politik hukum yang mendasari RUU PKS itu berperspektif gender dan korban, serta mengatur terkait berbagai upaya pemulihan untuk korban.

“Ini relevan mengingat bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat sebanyak 800% dalam 12 tahun terakhir. Namun sayangnya, RUU PKS masih mangkrak di Senayan karena banyaknya penolakan yang berbasis hoax seperti RUU PKS melegalkan seks bebas atau LGBT. Belum juga, problema ini masih belum juga jadi prioritas dan pembahasannya diulang lagi dalam Prolegnas 2021. Padahal sesuai namanya saja, RUU ini hadir untuk eradikasi kekerasan seksual,” tutup Weda.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp