Penataan dan Distribusi Penguasaan Tanah Melalui Sinkronisasi Data di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh bplawyers.co.id

Kebutuhan akan tanah bagi manusia salah satunya dipergunakan untuk tempat tinggal. Tempat tinggal untuk saat ini merupakan salah satu kebutuhan primer setelah kebutuhan pangan. Mengacu pada konstitusi Indonesia, khususnya dalam pasal 27 ayat (2), 28H ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan. Setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dijelaskan bahwa kawasan permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Selanjutnya dijelaskan pula permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Padahal di dalam konstitusi Indonesia menyebutkan secara eksplisit bahwa mendapatkan permukiman yang layak merupakan hak setiap warga. Penanganan kawasan permukiman terutama permukiman terkategori kumuh merupakan upaya pemerintah dalam memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat. Penanganan kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan pencegahan dan peningkatan kualitas. Pencegahan dilakukan dengan pengawasan, pengendalian, penyesuaian perizinan dan standar teknis, serta pemberdayaan masyarakat. Sedangkan peningkatan kualitas yaitu berupa kegiatan perbaikan, peremajaan permukiman lama, dan pemindahan masyarakat ke lokasi yang aman dan layak untuk dihuni. Data dari Konsorsium Pembaharuan Agraria disebutkan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan struktur penguasaan sumber daya agraria. Monopoli kekayaan agraria terjadi di hampir semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 % dikuasai korporasi kehutanan, 16 % oleh korporasi perkebunan skala besar, 7 % dikuasai oleh para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 % kekayaan nasional, dan 10 % orang terkaya menguasai 77 % kekayaan nasional.

Urgensi Sinkronisasi Data Subyek Hak atas Tanah

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam era globalisasi ini kemajuan teknologi sangat pesat sekali. Banyak sekali riset-riset yang dilakukan untuk mendorong timbulnya penemuan baru dalam dunia teknologi, terutama teknologi Informasi. Dalam kaitannya dengan penguasaan atas tanah, Kebijakan Pembaruan Agraria perlu diselenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. Pendataan adalah kegiatan pengumpulan atau pencarian keterangan mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penguasaan tanah adalah hubungan penguasaan langsung secara fisik antara orang per orang, kelompok atau badan hukum dengan tanah yang didasarkan kepada hubungan hukum tertentu seperti sewa, gadai, hak milik serta hubungan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemilikan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan hukum yang dilengkapi dengan bukti kepemilikan baik yang sudah terdaftar (berupa sertipikat hak atas tanah) maupun yang belum terdaftar. Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia menurut Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Oleh karena itu, agar terdapat pemerataan penguasaan tanah yang berkeadilan dan pengusahaannya dapat optimal dan berkelanjutan maka perlu penataan kembali struktur hak-hak atas tanah, antara lain dengan meninjau kembali keberadaan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan.

Skema Pengaturan Pemilikan Tanah

BerdasarkanKeputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal, terkait penguasaan tanah hak milik, seseorang tidak boleh memiliki lebih dari 5 bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 M2, namun prakteknya seseorang dapat memiliki hak milik lebih dari batas yang telah ditetapkan. Terkait dengan pemilikan tanah hak milik yang melebihi batas tersebut, hingga saat ini belum ada aturan hukum mengenai sanksi bagi seseorang yang menguasai tanah hak milik melebihi batas yang ditentukan dapat menjadi salah satu faktor pemilikan tanah yang melebihi batas. Negara dalam hal ini harus tegas untuk menindaklanjuti penguasaan tanah yang melebihi batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Sanksi yang tegas wajib dijatuhkan oleh negara kepada warga negara untuk terwujudnya program reforma agraria yang dicita-citakan sejak tahun 1960 yang lalu. Pemerataan kesejahteraan memang tidak mudah untuk diwujudkan oleh negara, namun melihat banyaknya fenomena warga negara Indonesia yang tinggal di bantaran sungai, di bawah jembatan, bahkan ditemukan juga tinggal di pipa saluran air yang disebabkan oleh terbatasnya lahan dan juga harga tanah yang semakin meningkat, membuat negara wajib untuk melindungi dan mengayomi warga negara agar memperoleh hunian yang layah sebagaimana tercantum dalam the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.

Oleh karena itu, dalam pelaksanaan program landreform Indonesia seyogianya pemerintah tidak hanya fokus pada tanah pertanian saja, namun juga terhadap tanah non-pertanian khususnya tanah yang digunakan untuk tempat tinggal. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 1998 sebagai peraturan pelaksana dari penguasaan tanah hak milik untuk tempat tinggal belum cukup mampu mewujudkan tujuan dibentuknya hukum agraria nasional, khususnya mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia serta menjamin hak hidup yang layak sebagaimana disebutkan dalam konstitusi Indonesia. Perombakan pemilikan tanah untuk rumah tinggal melalui sinkronisasi data elektronik antar instansi merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengurangi penguasaan tanah untuk tempat tinggal yang dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat. Dengan menerapkan metode tersebut, maka semangat kebersamaan yang tertuang di dalam UUPA dan konstitusi Indonesia dapat terwujud. 

Penulis: Oemar Moechthar, S.H., M.Kn.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://psychologyandeducation.net/pae/index.php/pae/article/view/2323

Agus Sekarmadji, Sri Hajati, Oemar Moechthar, Noraida Harun, dan Regine Wiranata (2021). Data Synchronization Model To Improve The Supervision Of Land Ownership For Citizens Towards The Indonesian Agrarian Reform Agenda. Psychology and Education Journal. 58(2), h.1673-1680, Februari 2021. DOI:https://doi.org/10.17762/pae.v58i2.2323

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp