Dokter Spesialis Mata UNAIR Sebut Glaukoma Penyebab Kebutaan Nomor Dua Setelah Katarak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Halodoc

UNAIR NEWS – Di seluruh negara, termasuk Indonesia, glaukoma merupakan penyebab kebutaan tertinggi kedua setelah katarak. Berdasarkan data dari Pusat dan Informasi Kementerian Kesehatan RI sebanyak 2,78 persen gangguan pengelihatan di dunia disebabkan oleh glaucoma. Kejadian glaukoma secara global diperkirakan mencapai 76 juta di tahun 2020. Olrh sebab itu, penting bagi kita untuk mengenal glaukoma lebih dalam dan bagaimana cara pencegahannya.

dr. Maitri Anindita, Sp.M Dokter Spesialis Mata Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) menjelaskan bahwa glaukoma merupakan kerusakan saraf mata yang ditandai dengan penyempitan lapang pandang, dimana tekanan bola mata merupakan faktor resiko yang utama.

“Tekanan bola mata yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan saraf mata yang progresif dan permanen, sehingga kebutaan yang ditimbulkan juga bersifat permanen,” ungkapnya yang akrab dipanggil dr. Maitri itu.

Lebih lanjut dr. Maitri menjelaskan bahwa peningkatan cairan di dalam bola mata itu terjadi karena adanya ketidakseimbangan produksi cairan dan jumlah yang dibuang. Normalnya tekanan bola mata tidak lebih dari 20 mm air raksa. Namun pada penderita glaukoma tekanan bisa berada di atas angka tersebut. Selain itu, glaukoma bisa juga disebabkan karena penyakit hipertensi maupun Diabetes melitus.

“Glaukoma dikenal sebagai pencuri penglihatan dan ini sangat berbahaya karena penyakit ini sering tidak bergejala sehingga penderita terkadang tidak menyadarinya,” tandasnya yang juga sebagai dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR).

Gejala yang muncul pada glaukoma bisa berbeda-beda. Di antaranya yaitu pengelihatan kabur, kemerahan pada mata, serta nyeri mata yang disertai mual dan muntah. Kemudian terdapat lingkaran seperti pelangi ketika penderita melihat kearah lampu atau cahaya terang. Tidak hanya itu, penderita juga memiliki sudut buta atau blank spot.

Blank spot ini seperti melihat dengan memakai kacamata kuda, dimana dapat melihat lurus, tetapi pengelihatan di sekelilingnya menjadi buram. Sehingga, penderita kalau jalan suka menabrak benda-benda yang ada disekitarnya,” jelasnya yang juga sebagai alumni FK UNAIR.

Kemudian, lanjut dr. Maitri, glaukoma tidak bisa disembuhkan. Pengobatan yang bisa dilakukan adalah menggunakan obat tetes mata maupun obat minum yang dianjurkan oleh dokter spesialis. Hal itu ditujukan untuk mengontrol tekanan bola mata, sehingga tekanan bola mata yang terkontrol akan memperlambat kerusakan saraf mata, sehingga hal itu bisa mencegah terjadinya kebutaan.

“Semakin awal diagnosis glaukoma ditegakkan, maka secepatnya kerusakan saraf mata bisa dicegah, dengan hal ini berarti menyelamatkan tajam penglihatan pasien,” ungkapnya.

Saat ditanya tentang pencegahan, dr. Maitri menjawab melakukan pemeriksaan mata secara rutin kepada profesional adalah hal yang dianjurkan. Pada orang dengan usia di bawah 40 tahun dapat melakukan pemeriksaan mata setiap dua atau empat tahun sekali. Pada usia 40 sampai 60 tahun dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mata setiap dua atau tiga tahun sekali. Dan untuk usia diatas 60 tahun  dianjurkan melakukan pemeriksaan mata setiap satu atau dua tahun sekali.

”Ingat, glaukoma yang tidak segera ditangani akan menurunkan penurunan penglihatan yang dapat memicu kebutaan permanen,” tutupnya. (*)

Penulis: Adelya Salsabila Putri

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp