UNAIR NEWS – Masih tingginya jumlah perkawinan anak di Indonesia kerap menjadi problematika yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan peradaban nusantara. Dalam kegiatan gelar wicara yang diadakan GirlUp UNAIR pada Sabtu siang (17/7/2021), aktivis perempuan Olin Monteiro memaparkan perspektif feminisme dalam memandang perkawinan anak.
Dalam banyak dimensi, Olin mengatakan bahwa eksistensi perempuan masih subordinat dengan laki-laki. Segi kultur membatasi perempuan untuk lebih memiliki akses pada modal masih rendah karena laki-laki dipandang sebagai kepala keluarga, dan perempuan harus tunduk pada laki-laki. Representasi perempuan dalam parlemen di Indonesia masih rendah, dimana jumlah perempuan dalam anggota DPR di bawah 30%. Ia juga menambahkan bahwa stigma terhadap perempuan korban kekerasan seksual masih acapkali ada, seperti victim blaming.
“Subordinasi posisi perempuan ini menjadikan perkawinan anak merupakan sebuah problematika gender. Langgengnya perkawinan anak di Indonesia itu karena menjamurnya budaya patriarki dalam nilai-nilai adat yang meminggirkan perempuan dan anak,” ujar Koordinator ArtsforWomen Indonesia itu.
Terdapat beragam alasan yang mendasari perkawinan anak. Beberapa contoh yang dipaparkan Olin adalah kemiskinan yang membuat orang tua mengawinkan anak keluar rumah, minimnya edukasi mengenai hak anak, dan nihilnya penegakan hukum agar anak tetap bisa bersekolah. Untuk itu, ia menegaskan bahwa kompleksitas dari persoalan perkawinan anak tidak dapat dipandang sebelah mata.
“Tak jarang juga, perkawinan anak berupa pemaksaan orang tua kepada anaknya karena alasan-alasan seperti itu. Anak tidak dapat menolak perkataan orang tuanya karena telah ditumbuhkan norma seperti itu. Jadi, ada relasi kuasa disitu yang tentunya sangat merugikan bagi anak, terutama anak perempuan,” tuturnya.
Dalam perspektif feminisme, Olin menuturkan bahwa perkawinan anak rentan menjadi bentuk kekerasan seksual karena alat reproduksi perempuan belum siap untuk melakukan aktivitas seksual, serta minimnya edukasi tentang kesehatan dan konsen seksual. Ia menambahkan bahwa perkawinan anak juga melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan, karena perkawinan anak rentan membuat anak putus sekolah dan mengemban peran orang dewasa terlalu dini.
“Ketidaksejahteraan ekonomi dan KDRT juga rentan membuntuti pasangan suami istri perkawinan anak. Di tahun 2020, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai lebih dari 64 ribu. Ini tentu masih tinggi sekalipun koridor hukum kita telah melarang dan berusaha menekan jumlah perkawinan anak,” jelas anggota PWAG Indonesia itu.
Olin merefleksikan problematika ini dengan menekankan pentingnya comprehensive sexual education (CSE) pada anak-anak, agar mereka memiliki pemahaman seksualitas serta hak reproduksinya. Menurutnya, ini krusial agar anak dapat menjadi individu yang berhak dan memiliki kapabilitas untuk menghargai martabat manusia lainnya. Penyuksesan hal ini dapat dilakukan melalui advokasi dan penekanan terhadap DPR untuk segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang mengatur perkawinan paksa anak sebagai kekerasan seksual dan mengatur terkait CSE.
“Orang tua juga harus terus diberikan edukasi tentang hak anak agar muncul pemahaman bahwa praktik perkawinan anak itu menggerus hak anaknya sendiri. Masyarakat dan orang muda juga harus belajar soal pentingnya mempersiapkan diri menjadi orang tua bukan hanya karena status atau prestige,” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan