Sebelum saya meneruskan menulis artikel ini, perkenankan saya terlebih dahulu mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan kepada seluruh sivitas akademika Universitas Airlangga. Memang beberapa hari lagi kita akan bertemu dengan bulan suci yang ditunggu-tunggu umat Islam seluruh dunia.
Allah mewajibkan kita untuk berpuasa sebulan penuh, dan Allah sebenarnya juga mewajibkan puasa pada umat-umat terdahulu. Bahkan di masyarakat primitif pun yang tidak mengenal agama, kita temukan kebiasaan berpuasa. Ibadah puasa itu disyariatkan Allah kepada kita karena puasa adalah alat untuk mendekatkan kepada Allah. Karenanya, puasa itu ibadah wajib dalam agama, dan agama itulah yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan rohani kita.
Dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa manusia dalam perkembangan kepribadiannya mengubah bentuk kebutuhan. Pada tingkat awal perkembangan kepribadian, kebutuhan manusia hanya fokus pada kebutuhan yang kongkret atau berwujud. Sigmund Freud menjelaskan kebutuhan manusia sejak anak-anak sampai dewasa, dari kebutuhan mendapatkan susu ibu, makan, lalu ketika dewasa ada kebutuhan seksual. Dan semakin dewasa, kebutuhan manusia fokus pada hal-hal yang spiritual.
Dalam ilmu manajemen kita juga mengenal konsep piramida kebutuhan manusia dari Abraham Maslow. Semakin tinggi bagian piramida, semakin abstrak kebutuhan manusia. Misalnya kebutuhakn akan kasih sayang, perhatian, dan aktualisasi diri yang dalam Islam itu disebut sebagai al-takamul al-ruhani. Pada tingkatan piramida paling bawah kebutuhan manusia hanya kebutuhan biologis.
Di bulan suci Ramadan ini kita diajarkan untuk mengembangkan kebutuhan kepribadian kita dari hal-hal yang bersifat jasmani menuju hal-hal yang bersifat ruhaniah dengan meninggalkan kebutuhan yang bersifat biologis atau jasmaniah. Di bulan puasa ini pula kita dilatih menjadi pribadi yang mendahulukan kehendak Allah di atas kehendak dirinya sendiri. Pada siang hari di bulan suci ini kehendak manusiawi kita ingin makan minum. Tapi karena kehendak Allah, kita patuh meninggalkan keinginan makan minum dengan cara mengendalikan hawa nafsu.
Bagaimana seseorang yang mengendalikan diri untuk tidak makan minum dan hubungan suami istri di siang hari di bulan puasa ini, tapi tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri, maka orang seperti ini tidak masuk ke tingkat wali yang paling elementer sekalipun. Orang seperti ini meskipun mampu mengendalikan dirinya tidak makan minum tapi gampang tersinggung dan marah, suka membicarakan aib orang lain, dan sebagainya.
Saya berpendapat bahwa ada baiknya di bulan suci ini seluruh sivitas akademika mampu menahan hawa nafsu dengan cara mendahulukan kehendak Allah di atas kehendak dirinya sendiri, tidak gampang menyebarkan berita yang negatif, menimbulkan perpecahan umat, bangsa, dan persaudaraan. Kita tidak menafikan kalau memiliki kepentingan pandangan tentang hal-hal yang berhubungan dengan negara dan bangsa, misalnya aspirasi politik. Namun ada baiknya di bulan suci ini kita istirahat dari hal-hal perbedaan cara pandang tentang berbagai isu di sekitar kita dan fokus untuk mengembangkan kepribadian yang lebih baik. Kalau itu dikaitkan dengan universitas yang kita cintai ini, maka itu berarti di bulan suci ini kita berusaha menegakkan nilai-nilai moral yang baik Excellence with Morality itu.
Semoga.