UNAIR NEWS – Pencabutan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan berakibat pada melambungnya harga minyak goreng domestik. Menanggapi hal itu, dosen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga Dr Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD menjelaskan bahwa hal itu dikarenakan pemerintah hanya mewajibkan market obligasi untuk domestik sebesar 20 persen, sedangkan sisanya bisa digunakan untuk ekspor.
“Sekarang harga minyak goreng dunia 1400-1500 dollar per metrik ton. Ini mendorong pengalihan distribusi dari domestik ke luar negeri. Siapa sih, yang gak ingin profitnya lebih tinggi?” jelas Rossanto.
Selain itu, Rossanto menjelaskan bahwa produsen minyak goreng juga berkewajiban untuk memenuhi B30, sehingga supply minyak goreng terbagi-bagi. “Minyak goreng adalah bahan baku untuk biodiesel dan biofuel sebesar 30 persen,” jelas Rossanto.
Rossanto juga menyampaikan bahwa kenaikan pendapat masyarakat dibarengi dengan supply minyak goreng dunia yang turun salah satunya karena perang Rusia-Ukraina. Hal ini juga mengakibatkan melambungnya harga minyak goreng domestik setelah dicabutnya HET minyak goreng kemasan.
“Jika keadaan seperti ini berjalan dalam jangka panjang, akan ada harga keseimbangan baru untuk minyak goreng kemasan,” jelas Rossanto.
Alasan Pencabutan HET Minyak Goreng Kemasan
Lalu, jika pencabutan HET minyak goreng kemasan berimbas pada naiknya harga minyak goreng, mengapa pemerintah tetap menerapkan kebijakan tersebut? Rossanto memaparkan bahwa penerapan HET berimbas pada kelangkaan minyak. Hal ini dikarenakan produsen cenderung menimbun barang akibat harga yang kurang menguntungkan. Padahal, minyak goreng adalah kebutuhan pokok masyarakat, sehingga tidak boleh terjadi kelangkaan minyak.
“Jika masyarakat yang membutuhkan minyak goreng untuk kebutuhan produksinya menjadi tidak produksi akibat kelangkaan minyak, maka akan berpengaruh ke pendapatannya dan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional.” jelas Rossanto.
Rossanto juga berpendapat bahwa minyak goreng saat ini sudah tidak menjadi barang yang langka di masyarakat. Akan tetapi, harga minyak goreng kemasan saat ini sudah sangat liar.
“Kalau pemerintah sudah memastikan pasokan minyak goreng di tanah air sekitar 350 juta liter per bulan, padahal kebutuhan permintaan masyarakat per bulan itu rata-rata di angka 270-300 liter. Artinya, masih ada space yang cukup untuk pasaran,” ucapnya.
“Sehingga, jika semua berjalan sesuai skenario yang normal seharusnya tidak mungkin harga melambung 80-100 persen seperti saat ini. Mungkin harga naik sekitar 10-20 persen saja,” jelas Rossanto.
Saran untuk Pemerintah dan Masyarakat
Rossanto berpendapat bahwa pemerintah harus mulai menyisir dari hulu ke hilir penyebab harga minyak goreng kemasan yang melambung sangat tinggi ini. “Market obligation minyak goreng sebesar 20 persen untuk domestik harap dijaga betul distribusinya mulai dari produsen ke konsumen. Karena selama ini masih ada benang kusut dalam jalur distribusi,” jelas Rossanto.
Rossanto juga menyampaikan bahwa pemerintah bisa menerapkan bea ekspor yang tinggi agar produsen mengalihkan distribusi lebih banyak ke dalam negeri. Pemerintah juga harus tegas dalam menegakkan hukum terkait penimbun minyak goreng.
“Harus ada sanksi yang jelas dan efek jera misalnya dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan agar tidak ada lagi yang menimbun (minyak goreng, Red),” jelas Rossanto.
“Masyarakat juga tidak usah panic buying. Pemerintah sudah memastikan bahwa pasukan minyak goreng domestik terpenuhi. Sehingga, masyarakat diharap bisa lebih wise dalam mengonsumsi, jangan menimbun,” ucap Rossanto. (*)
Penulis : Tristania Faisa Adam
Editor : Binti Q Masruroh