UNAIR NEWS – Belakangan sedang ramai perbincangan soal penangkapan Indra Kenz dan Doni Salmanan. Keduanya dinyatakan tersangka kasus penipuan berkedok trading binary option dengan merek aplikasi terpisah.
Erat dengan ciri khas flexing atau tren pamer harta di media sosial, Nisa Kurnia Illahiati SIKom MMedKom dosen Departemen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Universitas Airlangga (UNAIR) turut angkat bicara.
“Fenomena penipuan ini sudah ada sejak manusia mengerti cara memenuhi kebutuhan hidup secepat mungkin,” ucap Nisa membuka percakapan. Hanya saja, lanjutnya, seiring perkembangan teknologi informasi dan dunia maya, korban penipuan dapat digaet dengan mudah.
Media sosial mengizinkan penggunanya untuk menjadi siapapun yang ia mau. Termasuk, menjadi seseorang yang ‘tampaknya’ kaya raya.
“Pada saat kita berinteraksi di dunia maya, kita secara tidak sadar mencari kesamaan, mengidentifikasi. Misalnya kita lihat mana orang-orang yang kita anggap berhasil. Jika ingin menjadi seperti itu, maka aku harus meniru apa yang orang itu lakukan,” jelas Nisa.
Menggaet Korban Via Konten Pamer Harta
Nisa yang secara spesifik menggeluti studi media dan budaya tersebut menekankan penipuan semacam itu dilakukan dengan eksposur kontinyu terhadap tema konten senada. Dalam diskursus ilmu komunikasi, hal ini dirujuk sebagai simbol. Simbol ini hadir dalam konten pelaku yang tersebar di media sosial. Sekaligus, mengisyaratkan bahwa semua orang bisa cepat kaya dan sukses dalam waktu singkat.
“Kalo kita denger berkali-kali dan kita terima simbol yang sama secara terus-menerus, maka sesuatu tersebut akan menjadi kebenaran,” ujar pengajar pada mata kuliah Cyberculture: Internet, Media, and Culture, Departemen Ilkom UNAIR itu.
Kanal YouTube Indra Kenz, misalnya, penuh dengan tips menghasilkan pemasukan besar dalam waktu singkat dalam trading. Begitu pula akun TikTok-nya yang penuh konten memamerkan barang-barang dengan harga selangit, serupa dengan konten pada kanal YouTube Doni Salmanan.
Aksi Kedermawanan
Selain pamer outfit dan merk tunggangan, aksi kedermawanan juga populer. Terutama demi menyampaikan pesan bahwa mereka tidak hanya kaya, tapi juga berhati malaikat.
“Padahal, media sosial itu hanya persona palsu yang mudah sekali diciptakan,” tambah Nisa. Nisa melanjutkan, masyarakat Indonesia punya tendensi besar untuk percaya pada apa yang orang katakan daripada mengecek sendiri. Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang luluh pada tampilan berkilau penipu investasi bodong ini. Terlebih mereka yang sudah terlanjur jadi followers atau subscribers dan mengidolakan para influencers tersebut.
“Sebenarnya yang dibeli itu kadang bukan barangnya, tetapi kedekatan emosionalnya,” tukas lulusan sarjana UNAIR itu.
Tuntutan Sosial Melek Finansial
Lebih jauh, Nisa menyorot bahwa terdapat tuntutan sosial agar seseorang harus mandiri dan melek secara finansial sedini mungkin. Keinginan menjadi independen secara finansial, meski demikian, tidak bisa ditelan mentah-mentah.
Adanya keinginan untuk cepat kaya, lanjut Nisa, malah mampu mendorong orang-orang untuk terjerumus pada salah satunya investasi akal-akalan Indra dan Doni ini.
“Kalau ada sesuatu yang too good to be true (terlalu sempurna untuk jadi nyata, Red), biasanya begitu. Pasti ada sesuatu di balik itu semua,” catat Nisa. (*)
Penulis: Deanita Nurkhalisa
Editor: Binti Q. Masruroh