Efek Anti Neuroinflamasi Genistein pada Sel Kultur Mikroglia secara In Vitro dan Evaluasi Interaksinya dengan Reseptor -β secara In Siliko

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by hot Liputan6

Defisiensi hormon wanita estrogen pada fase menopause menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Satu di antaranya adalah radang atau inflamasi sel otak dan sistem saraf pusat. Peradangan pada sel otak dan sistem saraf tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi  yang memicu berbagai masalah kesehatan, seperti demensia. Dengan berbagai alasan kesehatan, wanita menopause memutuskan menggunakan terapi sulih hormon untuk mengantisipasi kebutuhan estrogen. Namun  pada saat ini telah diketahui efek samping  pada penggunaan terapi sulih hormon jangka panjang.  Oleh karena itu, dunia medis berupaya mencari pengganti estrogen alamiah Upaya yang dilakukan untuk mengatasi efek itu adalah menggunakan bahan alam sebagai sumber senyawa estrogen, yaitu yang disebut senyawa fitoestrogen.

Kedelai adalah bahan alam sumber fitoestrogen yang sudah digunakan secara luas untk tujuan memenuhi kebutuhan estrogen dalam tubuh. Kandungan fitoestrogen kedelai adalah senyawa genistein , yaitu yang termasuk senyawa golongan isoflavonoid.

Aktivitas genistein dalam mencegah atau mengataasi peradangan pada otak dan sistem saraf pusat, dapat dipelajari melalui percobaan dengan sel mikroglia. Mikroglia adalah bagian dari sel imun pada sistem saraf pusat yang memegang peran penting pada saat terjadinya infeksi dan kejadian radang. Pada kondisi otak yang berada dalam keadaan sehat, sel mikroglia bersfat dinamis, bergerak secara konstan untuk menjaga kesehatan sel parenkim otak. 

Berdasarkan fakta tersebut, maka penelitian dilakukan untuk mempelajari efek anti neuroinflamasi genistein pada radang sel otak dan sistem saraf pusat secara in vitro dengan menggunakan kultur sel mikroglia HMC 3.. Untuk penelitian tersebut, sel kultur mikroglia dibuat berada dalam kondisi defisiensi estrogen, yaitu mengalami peradangan melalui pemberian interferon gama. Penambahan itu membuat sel mikroglia berada dalam kondisi terpolarisasi, atau yang disebut polarisasi makrofag. klasik (M1) Mikroglia yang berada dalam kondisi polarisasi klasik mengalami peradangan, dan kondisi ini terjadi pada situasi dimana kadar estrogen dalam darah menurun. Peradangan mikroglia menyebabkan terjadinya peningkatan sitokin, termasuk major histocompatibility II (MHC II).   Pemberian genistein diharapkan dapat mengatasi peradangan dan membuat sel mikroglia  berubah menjadi berada dalam keadaan polarisasi makrofag alternatif.(M2). Pada keadaan ini terjadi penurunan sitokin dan peningkatan IL10, IL-13, T-cell growth factor-β (TGF-β), dan arginase 1 (Arg1). Jadi percobaan ini mengukur perubahan MHC II dan Arg 1 melalui metode immunocytochemistry dan instrument  confocal laser scanning microscope (CLSM)

Penelitian ini juga sekaligus mempelajari mekanisme kerja genistein sebagai anti neuroinflamasi  melalui ikatan dengan reseptor, apakah  estrogen beta (estrogen receptor dependent), atau non estrogen rereptor dependent. Percobaan itu dilakukan secara doking molekuler (molecular docking) untuk mempelajari pola interaksi genistein dan 3OLS protein yang mengandung histidine, glutamin dan arginin pada titik tangkap protein.

Hasil penelitian ini menunjukkan aktivitas genistein dalam menurunkan ekspresi MHC II dan meningkatkan ekspresi Arg 1 pada sel mikroglia HMC3. Namun genistein tidak dapat menurunkan ekspresi reseptor estrogen beta bebas.

Hasil tersebut membuktikan efek anti neuroinflamasi genistein, yaitu dengan cara merubah status sel mikroglia dari  keadaan polaritas makrofag klasik  (M 1) menuju polaritas  makrofag alternatif (M 2). Artinya, genistein dapat mengatasi peradangan pada polaritas makrofag klasik (M1) dan membawa kepada kondisi normal (M 2). Hal ini terlihat melalui menurunnya ekspresi MHC II.

Secara teoritis, efek anti neuroinflamasi genistein tersebut terjadi melalui ikatannya dengan reseptor estrogen. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genistein tidak dapat menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor estrogen bebas antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Artinya genistein tidak dapat berikatan secara signifikan pada reseptor tersebut. Jadi, secara teorits aktivitas antineuroinflamasi genistein terjadi melalui ikatan dengan reseptor lain secara lebih efektif dan kuat dibanding ikatan dengan reseptor estrogen beta, yaitu kemungkinan dengan G-protein coupled estrogen receptor (GPER). Hal ini diperkuat dengan fakta terdapatnya ekspresi GPER yang kuat pada sel mikroglia dan sel otak. GPER berperan pada mekanisme estrogen receptor dependent dari jalur non klasikal atau non genomik.

Kesimpuan penelitian ini adalah bahwa genistein mempunyai aktivitas anti neuroinflamasi yang terbukti melalui  penurunan ekspresi MHC II dan peningkatan ekspresi Arg 1 pada sel kultur  mikroglia HMC3.  Efek penurunan tersebut tidak terjadi melalui ikatan genistein pada reseptor estrogen beta. Studi perlu dilakuukann untuk mempelajari interaksi molekuler genistein dengan reseptor  estrogen lain.

Koresponden: Prof. Dr. apt. Mangestuti Agil, MS

Judul Jurnal: IN VITRO ANTI-NEUROINFLAMMATORY EFFECT OF GENISTEIN (4′,5,7-TRIHYDROXYISOFLAVONE) ON MICROGLIA HMC3 CELL LINE, AND IN SILICO EVALUATION OF ITS INTERACTION WITH ESTROGEN RECEPTOR-?

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp