Simptom Positif Psikosis pada Anak dan Remaja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by IDN Times

Gangguan psikotik secara klinis muncul dalam bentuk berbagai gejala dan gangguan mental lainnya.  Gejala yang perlu dipastikan dalam melakukan diagnosis psikosis pada anak dan remaja adalah ada  salah satu dari ketiga gejala ini yaitu halusinasi, delusi dan bicara tidak teratu. Psikosis merupakan sebuah  gangguan mental yang bersifat  kontinum yang dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk neurokognitif, neurobiogenetik dan budaya.

Gangguan psikosis yang  kompleks memperumit ahli dalam melakukan penilaian diagnostik secara akurat dan menyebabkan tidak hanya terjadinya diagnosis yang berlebihan tetapi juga diagnosis yang kurang tepat  pada anak di bawah umur terutama pada anak yang mengalami gangguan perkembangan saraf dan kekurangan kemampuan intelektual.  Bahaya terjadinya kesalahan diagnosis pada anak di bawah umur lebih sering terjadi terutama jika gejala psikotis masih samar. Gejala ini juga tampak pada remaja yang memiliki resiko mengalami psikosis di masa yang akan datang.  Gejala-gejala psikosis yang samar ini merupakan gejala yang diukur pada saat dilakukannya  deteksi dini psikosis, yang akan menentukan apakah seseorang masuk dalam kategori berisiko tinggi mengalami psikosis.

Gangguan psikosis dalam bentuk gangguan skizofrenia dapat didiagnosis tanpa mempertimbangkan  usia seseorang, artinya gangguan ini dapat dialami seseorang di segala usia.  Psikosis yang terjadi usia dini, hampir 90% di antaranya adalah diagnosis skizofrenia yang terjadi sebelum usia 18 tahun, sedangkan psikosis yang terjadi pada masa kanak-kanak dimulai sebelum usia 13 tahun dengan asumsi bahwa 4% gangguan psikosis dimulai sebelum 15 tahun.  Sebuah studi di Denmark baru-baru ini melaporkan terjadinya gangguan pskosis dalam bentuk  gangguan spektrum skizofrenia sekitar 0,05% sebelum usia 13 tahun (sangat rendah), setelah itu meningkat hingga usia 18 tahun menjadi 0,76% pada anak perempuan dan 0,48% pada anak laki-laki.  Seperti yang terlah disinggung di atas, faktor neuro kognisi memiliki peran penting pada terjadinya simptom positif psikosis pada masa kanak dan remaja. Kegagalan fungsi neurokognitif terjadi baik pada sesorang yang menunjukkan gejala psikosis dini, pasien dewasa dan orang dengan resiko tinggi psikosis. Pola penurunan fungsi kognitif yang sama pada remaja dan pasien dewasa yang masuk dalam kategori resiko tinggi psikosis. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik penurunan fungsi neurokognitif menjadi salah satu tanda penting dalam mendeteksi apakah terjadi psikosis atau tidak. Perubahan kemampuan ataupun pola penurunan kemampuan kognitif terjadi pada hampir semua individu baik dengan onset dini, onset masa kanak, onset masa dewasa ataupun individu yang masuk pada kategori resiko tinggi. Gejala positif psikosis juga dipengaruhi oleh  budaya, nilai, dan sikap dengan besar pengaruh terhadap bentuk gejala psikosis yang muncul sebesar 15%-30%. Gejala positif psikosis tampak berbeda pada  negara-negara kolektivistik ataupun bentuk gejala delusi dan halusinasi  juga berbeda antara penganut agama atau kepercayaan, misal halusinasi visual dan taktil lebih sering dilaporkan dalam budaya yang mengambil pengalaman sensorik yang tidak dapat dijelaskan sebagai bukti supranatural atau ilahi. Efek budaya mungkin juga bermanifestasi dalam peningkatan risiko psikosis 1,5 hingga 3 kali secara keseluruhan pada masyarakat migran khususnya, ketika migrasi dilakukan sebelum usia 18 tahun. Migrasi sebelum usia 18 tahun meningkatkan risiko psikosis menjadi hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tidak ada migrasi (penduduk asli) dan migrasi selama awal masa dewasa (19-29 tahun).

Berdasarkan asumsi model perkembangan neurologi dari gangguan psikotis, terutama spektrum skizofrenia, diagnosis (dan pengobatan) psikosis pada anak di bawah umur biasanya akan diikuti dengan terjadinya psikosis ketika mereka  dewasa. Namun, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa faktor perkembangan memainkan peran penting dalam penyebab terjadinya psikosis  dan diagnosis gangguan psikosis. Selain itu Hal ini menunjukkan bahwa anak di bawah umur dan orang dewasa mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda untuk deteksi (awal) dan pengobatan psikosis. Namun, karena bukti yang  masih sedikit maka diperlukan lebih banyak studi yang dilakukan dalam bentuk studi komparatif pada anak di bawah umur dan orang dewasa. Penelitian lebih lanjut hendaknya berfokus pada pengungkapan faktor perkembangan yang lebih detil dan menyeluruh,  termasuk pula bagaimana  efek negatif migrasi pada pemunculan simptom positif psikosis khususnya pada anak-anak.

Penulis: Tri Kurniati Ambarini

Artikel: Schultze-Lutter, F., Kindler, J., Ambarini, T. K., & Michel, C. (2022). Positive psychotic symptoms in childhood and adolescence. Current Opinion in Psychology, 45, 101287.

Link :

https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2021.11.007

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp