Munculnya Penyakit Keganasan Akibat Ineksi Malaria pada Penderita Ebstein Bar Virus

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Halodoc

Infeksi Plasmodium falciparum Malaria dan Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor risiko perkembangan limfoma Burkitt. Di Indonesia, 100% penduduknya persisten terinfeksi EBV di awal kehidupan dan berisiko timbulnya kanker terkait EBV. Saat ini, 10,7 juta orang di Indonesia tinggal di daerah endemis Malaria. Epstein-Barr Virus (EBV) adalah salah satu virus paling sering menginfeksi manusia dan bertahan seumur hidup. EBV terutama hidup dan bereproduksi dalam sel limfosit B dan sel epitel yang terletak di rongga oro-nasal dan jaringan limfoid sekitarnya. Sebagian EBV memproduksi material genetik untuk kelangsungan hidup sel yang terinfeksi,  dan dapat mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel ganas. Biasanya infeksi EBV berada di bawah kendali yang ketat dan tidak menyebabkan masalah kesehatan tetapi pada populasi tertentu dan dalam kondisi tertentu (stres seluler atau faktor-faktor lain) EBV dapat menyebabkan penyakit serius yang bervariasi dari mononukleosis infeksiosa  akut yang sembuh sendiri hingga infeksi EBV kronis yang berat, keganasan limfoid dan epitel, serta penyakit autoimun.

EBV pertama kali diidentifikasi dalam sel Burkitt Lymphoma (BL), kanker endemik di antara anak-anak sub-Sahara, yang dipicu oleh koinfeksi parasit Malaria . BL adalah kanker yang paling umum pada anak-anak yang tinggal di daerah endemik Malaria di sub-Sahara Afrika dan Papua Nugini, tetapi juga diamati pada anak-anak dan orang dewasa dengan infeksi HIV yang tidak terkontrol. Anak-anak dengan Malaria akut mengalami peningkatan kadar DNA EBV dalam sirkulasi darah yang dapat kembali normal setelah infeksi Malaria sembuh. Studi potong lintang ini dilakukan untuk meneliti bagaimana Malaria akut mengacaukan kontrol imunitas/kekebalan pada infeksi laten EBV. Penelitian ini menggunakan sampel darah dan plasma dari 68 pasien dengan Malaria akut dan 27 kontrol sehat, kami mengukur tingkat parasitemia untuk setiap jenis plasmodium (P. falciparum, P. vivax, dan campuran) dengan mikroskop dan tes cepat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Malaria akut menyebabkan disregulasi homeostasis EBV dan sitokin apa yang akan terlibat dalam populasi endemik Malaria di Indonesia. Studi sebelumnya di Afrika Timur menunjukkan bahwa Malaria mempengaruhi homeostasis EBV pada anak-anak dan wanita hamil, menunjukkan adanya peningkatan beban EBV-DNA dalam plasma kasus malaria dibandingkan dengan kontrol.

Sampel darah vena diambil dari kasus Malaria di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang tergolong daerah endemik tinggi di Indonesia. Kasus malaria dipresentasikan dengan spektrum gejala, termasuk demam, sakit kepala, mual, pucat dan pucat konjungtiva. Plasma penderita malaria ditempatkan dalam cool box dengan dry ice dan dikirim ke Institut Penyakit Tropis Universitas Airlangga, Surabaya. Sampel kontrol sehat diperoleh dari penduduk lokal di Surabaya (Jawa Timur) yang tidak menderita Malaria atau penyakit akut atau kronis lainnya, HIV atau penyakit menular seksual. Sebanyak 95 sampel plasma dari pasien terkonfirmasi Malaria dengan parasit positif P. falciparum (n = 26), P. vivax (n = 28), dan campuran (P. falciparum dan P. vivax) (n = 14), atau kontrol sehat (n = 27) digunakan dalam penelitian ini. Dari 68 kasus Malaria, 42 kasus laki-laki dan 26 perempuan, sedangkan kontrol 12 laki-laki dan 15 perempuan. Usia rata-rata kasus malaria adalah 20,2 tahun (kisaran 4-78) dan untuk kontrol sehat ini adalah 29,5 (kisaran 20-50). Semua sampel disimpan pada -20 ° C sampai digunakan. Diagnosis Malaria dipastikan dengan menunjukkan adanya infeksi parasit plasmodial dalam darah segar menggunakan tes deteksi antigen Malaria, i.c. “Tes Diagnostik Cepat” (RDT) Semua kasus dengan RDT positif ditindaklanjuti dan dikonfirmasi di Puskesmas di Pulau Sumba dengan pemeriksaan darah lebih lanjut menggunakan mikroskop apusan tebal oleh ahli parasitologi untuk mengkonfirmasi spesies parasit dan untuk mengukur proporsi sel darah merah yang terinfeksi di kaitannya dengan jumlah sel darah putih (WBC) yang telah ditentukan, menurut pedoman WHO-2010.

Seluruh sampel plasma Malaria (n = 68) diperoleh dari pasien bergejala yang berdomisili di Pulau Sumba, daerah endemis malaria di Indonesia. Dengan analisis mikroskopis dari ahli  didapatkan spesimen dengan infeksi P. falciparum (n = 26), P. vivax (n = 28), dan campuran (P. falciparum dan P. vivax; n = 14). Tingkat parasit tertinggi ditemukan pada 7/26 kasus P. falciparum (>10.000 parasit/μl). Gejala kasus Malaria secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok parasit yang berbeda (P = 0,0838), kecuali bahwa kejadian konjungtiva pucat lebih sedikit pada P. falciparum (50%) dibandingkan dengan P. vivax atau kasus campuran (keduanya 100%) dan sakit kepala parah lebih banyak dilaporkan pada P. falciparum dibandingkan dengan kasus P. vivax (100% vs 46%). Rasio pria/wanita sebanding antara kasus Malaria dan kontrol (rasio M/F: 42/26 dan 12/15, masing-masing; P>0,3). Kontrol sehat (n = 27) dari kota Surabaya, Jawa Timur dan tidak memiliki riwayat penyakit inflamasi  dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit pada saat pengambilan sampel. Untuk perbandingan tingkat parasitemia darah lengkap dengan beban DNA-EBV dalam plasma, kami mengelompokkan kasus Malaria menjadi 3 subkelompok tingkat rendah (<1000/ul), menengah (1000-10.000/ul) dan tinggi (>10.000/ul). Tidak ditemukan hubungan bermakna antara tingkat parasitemia dengan beban DNA-EBV untuk 3 subkelompok kasus Malaria (P = 0,6826; P = 0,9570; P = 0,3799).

Tingkat sitokin dalam plasma. TNF-α plasma meningkat secara signifikan pada sebagian besar kasus Malaria pada ketiga kelompok Malaria, dengan P < 0,05 secara keseluruhan dibandingkan kontrol sehat (P = 0,0082, P = <0,0001, P = <0,0001). IL-10 anti-inflamasi meningkat secara signifikan pada P. falciparum dan kasus infeksi campuran dengan P < 0,05 dibandingkan dengan kontrol sehat. IFN-γ pro-inflamasi sangat meningkat pada semua kelompok, tetapi tidak berbeda secara signifikan antara kasus Malaria dan kontrol yang sehat (P = 0,2398; P = 0,0842; P = 0,2832). Peningkatan kadar sitokin anti-inflamasi TGF-β terdeteksi di semua 3 Kelompok malaria dibandingkan dengan kontrol yang sehat, mencapai signifikansi pada P. falciparum dan kasus campuran (p = 0,0025 dan p <0,0001, masing-masing) dan hampir signifikan dalam P. Vivax kasus (p = 0,0697).

Studi potong lintang di daerah endemis Malaria di Indonesia ini mengungkapkan bahwa koinfeksi parasit Malaria mengacaukan sistem kekebalan tubuh, berhubungan dengan peningkatan kadar DNA-EBV dalam sirkulasi, yang mengindikasikan reaktivasi EBV. Peningkatan kadar IL-10, IFN-γ dan TGF-β, yang tidak berbeda secara signifikan dari kontrol regional menunjukkan disregulasi imun yang sudah ada sebelumnya karena pengaruh lingkungan pada populasi Indonesia ini, yang dapat mempengaruhi EBV laten yang biasanya seimbang. Tingginya kadar TNF-α pro-inflamasi, yang berkorelasi dengan peningkatan beban DNA-EBV yang ada disirkulasi darah terutama pada kasus yang terinfeksi P. falciparum, menunjukkan bahwa koinfeksi P. falciparum Malaria menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang mengakibatkan reaktivasi sistemik EBV dengan konsekuensi potensi terjadinya kondisi patologis. Studi virologi dan kanker lebih lanjut diperlukan pada populasi ini untuk menganalisis hubungan antara P. falciparum Malaria, EBV dan TNF-α dalam kaitanya infeksi EBV kronis atau keganasan.

Penulis: Usman Hadi

SUMBER: Quantitative cytokine level of TNF-α, IFN-γ, IL-10, TGF-β and circulating Epstein-Barr virus DNA load in individuals with acute Malaria due to P. falciparum or P. vivax or double infection in a Malaria endemic region in Indonesia.

Budiningsih I, Dachlan YP, Hadi U, Middeldorp JM (2021)

PLoS ONE 16(12): e0261923. https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0261923

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp