Bagaimana Mencegah Tingginya Angka Kejadian Diare pada Anak Bawah Lima Tahun?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Kompas Health

Hampir setiap orang di dunia pernah mengalami diare dan tentunya tidak menyenangkan saat mengalami diare. Apalagi jika diare dialami oleh balita, bagaimana risikonya? Menurut WHO setiap tahun terdapat milyaran balita yang mengalami diare dan ratusan ribu diantaranya meninggal akibat diare. Diare pada balita perlu menjadi perhatian karena diare menduduki peringkat kedua sebagai pembunuh balita.

Penyakit diare adalah salah satu penyakit paling sering menyerang anak-anak di seluruh dunia termasuk negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan angka morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Kematian yang disebabkan diare pada anak-anak terlihat menurun dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun. Meskipun mortalitas dari diare dapat diturunkan dengan program rehidrasi/terapi cairan namun angka kesakitannya masih tetap tinggi.

Dalam kebanyakan kasus, diare akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa hari, tetapi ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung pemulihan anak dari diare. Pastikan bahwa anak tetap terhidrasi adalah prioritas tertinggi, karena anak-anak lebih rentan terhadap dehidrasi. Tetapi dapat juga membuat perubahan pada diet anak dan mencari bantuan dari dokter anak untuk menentukan penyebab diare anak.

Salah satu penyebab diare pada balita yang mematikan adalah terinfeksi oleh virus rotavirus. Sayangnya, vaksin rotavirus di Indonesia masih menjadi imunisasi dasar pilihan. Menurut Kementerian Kesehatan RI imunisasi dasar lengkap terdiri dari Hepatitis B 4 kali, BCG 1 kali, Polio 4 kali, DPT-HB 3 kali, dan Campak 1 kali. Lalu apa saja upaya Pemerintah dalam menghadapi diare pada balita?

Pemerintah melalui puskesmas memiliki berbagai program untuk mengatasi diare pada balita seperti pelayanan diare balita, pemberian oralit, dan pemberian zinc. Oralit merupakan obat berupa bubuk garam untuk dicairkan sebagai pengganti mineral dan cairan yang keluar akibat penyakit muntah atau berak. Oralit diberikan sebagai intervensi terhadap gangguan keseimbangan konsentrasi natrium dan kalium akibat dehidrasi. Sedangkan pemberian zinc selama diare terbukti dapat mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018, cakupan pelayanan balita sebesar 38%, cakupan pemberian oralit pada balita yang menderita diare sebesar 89%, dan cakupan pemberian zinc pada balita yang menderita diare sebesar 90%. Di tahun yang sama, prevalensi diare balita berdasarkan Riskesdas tahun 2018 menunjukkan angka 11,37% dengan provinsi yang tertinggi berada di Provinsi Papua sebesar 15,8%. Bagaimana kaitan upaya yang telah dilakukan di puskesmas dengan prevalensi diare balita?

Informasi tersebut dapat diketahui pada studi ekologi tentang diare balita yang berjudul “How is the Effect of Health Services on Toddler Diarrhea?: Ecological Analysis in Indonesia”. Pada hasil studi tersebut ditampilkan distribusi frekuensi dalam bentuk tabulasi silang dan sebaran hubungan dalam bentuk visual dengan scatter plot. Pada studi tersebut diketahui bahwa  semakin tinggi pemberian oralit dan zinc pada penderita semakin rendah prevalensi diare balita. Meski begitu kekuatan hubungannya tidak cukup tinggi.

Selain upaya yang dilakukan puskesmas, pada studi tersebut juga mengkaji bagaimana dampak dari kemiskinan dan sumber daya manusia kesehatan. Hal yang menarik diketahui kekuatan hubungan paling tinggi adalah faktor sumber daya manusia kesehatan, dimana semakin banyak sumber daya manusia kesehatan maka semakin rendah prevalensi diare balita di Indonesia.

Sumber daya manusia kesehatan di Indonesia juga masih menjadi masalah. Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki banyak pulau sehingga distribusi sumber daya manusia kesehatan masih belum merata. Maka senada jika kasus diare balita tertinggi berada di Provinsi Papua, mengingat banyak akses disana yang masih terbatas khususnya sumber daya manusia kesehatan.

Begitupun dengan faktor kemiskinan yang masih tinggi di beberapa wilayah. Faktor kemiskinan juga memiliki kekuatan hubungan cukup tinggi dengan diare balita. Semakin tinggi kemiskinan maka semakin tinggi diare balita. Maka dari itu pemerintah juga dianjurkan untuk dapat mengintervensi secara khusus wilayah atau provinsi yang memiliki kemiskinan tinggi dan sumber daya manusia kesehatan rendah. Hal ini dapat dilakukan sebagai upaya pemerataan pelayanan kesehatan khususnya intervensi untuk mencegah diare balita di Indonesia.

Informasi detail dari studi artikel ini dapat dilihat pada Jurnal IJFMT (Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology), January-March 2022 (ISSN 2179-0302) halaman 1294-1304. Artikel tersebut dapat diakses pada link berikut: http://medicopublication.com/index.php/ijfmt/article/view/17674

Yuli Puspita Devi, Milla Herdayati, Muthmainnah, Mahdiyyah Husna Nihar, Imas Elva Khoiriyah, & Az-Zahra Helmi Putri Rahayu. (2021). How is the Effect of Health Services on Toddler Diarrhea?: Ecological Analysis in Indonesia. Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, 16(1), 1294–1304. https://doi.org/10.37506/ijfmt.v16i1.17674

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp