Epistemologi Vaksin Covid-19: ‘Kegaduhan’ dalam Masa Pandemi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by Halo Pacitan

Pertama kali terdeteksi pada akhir 2019, pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) sejak itu telah dinyatakan sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional dan menyebabkan lebih dari setengah juta kematian manusia pada awal Juli 2020 (Dong et al., 2020).  Kasus ini diawali dengan informasi dari Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) pada tanggal 31 Desember 2019 yang menyebutkan adanya kasus kluster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Terus berkembang hingga akhirnya diketahui bahwa penyebab kluster pneumonia ini adalah novel coronavirus. Hingga adanya laporan kematian dan terjadi importasi di luar China. Virus zoonosis pertama kali diidentifikasi di Wuhan, China, dan kelompok kasus awal mulanya diyakini terkait dengan pasar makanan hewan laut dan hewan “basah” yang hidup, meskipun dari banyak penelitian belakangan ini menyebutkan hal tersebut masih mejadi pertanyaan besar (Letzter, 2020; Woodward, 2020).  Para ilmuwan memang harus mendapatkan jawaban secepatnya dan mencari solusi terkait pandemik Covid-19. Sebab, hingga saat ini penularan Covid-19 masih masif walaupun vaksinasi sudah terus berjalan. Bahkan Wamenkes mengatakan dengan tegas bahwa Vaksinasi Bukan Satu-satunya Game Changer Hadapi Pandemi (beritasatu.com).

Covid-19 memaksa manusia untuk bisa beradaptasi dengan kebiasaan baru.  Paling tidak, ada tiga hal baru yang saat sekarang banyak dilakukan orang diantaranya adalah 3M: Mencuci Tangan, menjaga jarak dan memakai masker saat berada di tengah kerumunan orang. Sementara itu pemerintah juga aktif melancarkan program 3T: Testing, Tracing, dan Treatment.  

Pada perkembangan selanjutnya dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, penerapan Vaksin menjadi salah satu fokus utama pemerintah Indonesia dari berbagai merk pabrikan vaksin di dunia. 

Menurut Prof. Muhammad Mustofa, secara sosiologis dapat dikatakan bahwa pandemi Covid-19 telah menghasilkan perubahan sosial yang besar. Dalam perubahan sosial yang besar, menurut Durkheim, dampak ikutannya adalah terjadinya keadaan anomie. Keadaan anomie adalah keadaan ketika orang kehilangan pegangan norma tingkah laku, mana yang harus diikuti dan mana yang tidak perlu diikuti. Kemudian pada era industri 4.0, era perkembangan teknologi cyber, yang salah satu cirinya adalah ketidakpastian, mendorong tumbuhnya kebenaran-kebenaran yang dikonstruksikan secara sengaja, walaupun ia bukan merupakan kebenaran yang mutlak.  

Hingga saat ini belum ada kesimpulan pasti bagaimana protokol yang permanen untuk bisa digunakan dalam menghadapi dinamika virus SARS Cov-2 di lapangan.  Banyak kajian yang telah dilakukan para ilmuwan sekarang dan memaksa mereka untuk selalu melakukan update terhadap kajian-kajian dan penelitian mereka, karena sejatinya Virus Corona adalah virus RNA dengan struktur genom nya yang khas membuat dirinya mampu untuk bermutasi pada banyak keadaan dari waktu ke waktu.  

Jadi memang belum ada kebenaran tunggal tentang virus ini, begitu juga dengan vaksin. Bahkan Mungkin tidak akan pernah ada kebenaran tunggal untuk beberapa tahun ke depan terkait vaksin khususnya, karena seringnya virus ini bermutasi.

Dari sisi kajian epistemologis, terutama pada hal yang berkaitan dengan penerapan vaksinasi terhadap Covid -19. Kebenaran kebijakan akan sulit dicapai dalam menghadapi wabah pandemi dalam waktu dekat ini. Apalagi jika harus dibahas secara menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan dan teknologi manusia seputar vaksin dan imunitas tubuh. Tentu akan menimbulkan perdebatan yang panjang dan tidak berkesudahan.

Fenomena Virus Corona dan dinamika vaksin memang nyata namun semua perdebatan  berujung kepada kegaduhan dan gagalnya para pemangku kepentingan termasuk masyarakat untuk mendapatkan kepastian atau kesimpulan yang bisa diyakini secara bersama untuk menjadi pegangan. 

Apakah dengan vaksinasi Pandemi akan berakhir?  

Imunitas yang terbentuk dari vaksinasi durasinya pendek, sementara cakupan populasi yang divaksinasi sangat luas sehingga diperlukan kerja keras dan persediaan vaksin yang cepat untuk bisa memberikan proteksi pada semua populasi dalam suatu wilayah.  Belum lagi persoalan terkait sifat zoonotik dengan hewan tertentu sebagai inangnya, akan sangat sulit untuk melakukan eradikasi terhadap Covid-19. Upaya untuk membentuk herd immunity melalui vaksinasi tidaklah mudah, bukan hanya berdasar atas klaim saja namun lebih jauh harus didukung dengan data lapangan yang akurat.  Mengukur immunity harus diketahui kemampuan antibodi masing-masing penerima vaksin, bagaimana antibodi yang terbentuk pasca vaksinasi?  Harus dibedakan antara herd immunity dan herd vaccination. Belum lagi jika dikaitkan dengan persoalan mutasi virus, akankah vaksin yang digunakan sekarang ini masih dapat memberikan kekebalan terhadap virus yang telah mengalami mutasi?. 

Bagaimana dengan Konsep kekebalan silang?  Prof. C. A Nidom dari Professor Nidom Foundation menegaskan bahwa, “sifat antibodi yang terbentuk dari vaksin tidak bisa membuat reaksi silang, dan juga selain karena mutasi virus berdampak pada efektivitas vaksinasi, juga sebaliknya vaksinasi bisa memicu terjadinya mutasi pada virus”.

Secara tegas Prof. C. A Nidom dalam perbincangan dengan penulis menyatakan bahwa Vaksin bukanlah segalanya apalagi untuk virus corona. Sampai saat ini belum ada intervensi dengan vaksin untuk penyakit yang disebabkan oleh virus Corona, kecuali pada penyakit ayam yang disebut Infectious bronchitis. Dan bersesuaian dengan pengalaman penulis di lapangan khususnya kejadian penyakit Infectious Bronchitis pada ayam dengan pemberian vaksinasi bukan menjadi jawaban bagi selesainya kasus di lapangan.  Justru, Muncul berbagai kasus dengan varian virus yang baru. 

WHO menyatakan ada lebih dari 6000 varian pada Sars Cov2. Ada varian yang termasuk kriteria “variant of concern”, dengan kriteria yang menunjukkan setidaknya satu dari kriteria berikut, yaitu lebih mudah menular, menyebabkan penyakit yang lebih parah, secara signifikan mengurangi netralisasi oleh antibodi, virus dapat mengurangi efektivitas terapi, vaksin atau diagnosis. 

Saat ini ada 4 variant of concern yang sangat memprihatinkan: 

Sebenarnya banyak pendapat yang menyatakan varian baru Sars Cov2 hanya menyebabkan penularannya lebih mudah dan cepat dari varian sebelumnya, namun tidak menyebabkan bertambah parahnya penyakit. Tetapi sama bahayanya karena akan banyak populasi yang rentan akan terinfeksi seperti golongan usia tua, dan masyarakat dengan penyakit penyerta, sehingga angka perawatan di rumah sakit akan tinggi, angka morbiditas dan angka mortalitas akan meningkat. (dr. I Wayan Putra Agus dalam Pemikiran Prajurit Kesehatan Menghadapi Pandemi Covid-19, 2020). 

Dengan begitu banyaknya varian virus corona dalam Covid-19 ini maka menjadi pertanyaan tersendiri akan efektifitas berbagai merk vaksin pabrikan yang beredar sekarang ini. Perlu disampaikan bahwa belum ada success story suatu pandemi bisa selesai karena intervensi vaksin. Vaksin hanya bertujuan utama menekan angka kesakitan dan kematian. Sebagai contoh vaksin flu yang setiap tahun diperbaiki bibit vaksinnya dengan disesuaikan dengan daya tahan mutan virus yang terjadi. Dan ini yang terjadi di lapangan.

Bagaimana akhir dari pandemi?  

Optimisme tentunya selalu ada untuk membuat penyebaran Covid-19 berada pada titik terendah, diperlukan strategi global dengan kearifan lokal yang membumi.  Mengakhiri Pandemi harus dengan cara memutus rantai penyebaran virus corona penyebab Covid-19 dengan tetap melakukan protokol kesehatan 5M di semua lapisan masyarakat, serta didukung dengan 3T oleh pemerintah dengan senantiasa melakukan genom sequencing untuk mengetahui strain baru yang bermunculan di setiap wilayah.  Satu hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah intervensi desinfeksi ruangan dan lingkungan sekitar rumah dan tempat yang seringkali digunakan berkumpul dan berkerumun.  Penggunaan disinfektan berbahan dasar BKC sudah sangat cukup, disamping juga harganya murah dan aman bagi lingkungan.  Disinfeksi bukanlah kegiatan mubazir seperti yang pernah dilontarkan oleh sebahagian pakar epidemiologi, kalau saja dilaksanakan secara terukur dan terencana dengan baik.  Daripada menghamburkan dana untuk kegiatan yang tidak jelas tujuan dan efikasinya.  

Sementara itu kearifan lokal dengan mengkampanyekan tanaman obat keluarga seperti kunyit atau empon-empon sebagai immuno modulator telah terbukti memberikan manfaat yang nyata bagi sistem kesehatan tubuh manusia Indonesia.

Bagaimana dengan masa depan vaksin Covid -19? 

dr. Jonny, Sp.PD-KGH dalam buku Catatan dan Pemikiran Prajurit Kesehatan Menghadapi Pandemi Covid-19 menyimpulkan bahwa Covid-19 merupakan varian virus Corona yang baru, dimana populasi manusia belum pernah terpapar sebelumnya.  Populasi manusia secara umum yang belum memiliki antibodi terhadap varian virus baru ini menjadi salah satu pertimbangan untuk dilakukannya pengembangan vaksin guna memperlambat laju penyebaran, menekan angka morbiditas, dan mortalitas. Vaksin konvensional dengan menggunakan virus yang dilemahkan dikaitkan dengan bahaya penyebab infeksi dan dirasa tidak efektif melawan virus yang menghambat proses dan presentasi antigen virus oleh antigen presenting cell endogen (APC endogen), terutama sel dendritik (DC) yang merupakan langkah pertama untuk menginduksi respon imun host adaptif terhadap Covid-19. 

Dendritik Cell Vaccine (DCV) adalah sebuah alternatif yang lebih aman dan lebih efektif dibandingkan dengan vaksin konvensional yang tengah digunakan saat ini.  DCV merupakan vaksin yang memanfaatkan DC sebagai APC yang menginduksi respon imun host adaptif.  Sifat dari DCV yang autologus memungkinkan untuk dilakukannya produksi vaksin secara aman dan lebih spesifik terhadap masing-masing individu (personalized vaccine).   

Karenanya DCV menjadi pilihan yang lebih efisien dalam menangani kegaduhan dalam pandemi covid-19 menuju new normal yang nyaman dan tenang bagi seluruh masyarakat Indonesia, Semoga!

Oleh Drh. Ilsan Arvan Nurgas* 

*Mahasiswa Program Magister Vaksinologi Dan Imunoterapeutika Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga 2021-2022

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp