Kemampuan Interaksi Sosial Lansia Sangat Dipengaruhi Kondisi Status Mental

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Tribun

Meningkatnya usia harapan hidup manusia yang hampir terjadi di seluruh dunia menyebabkan meningkatnya jumlah lanjut usia (lansia) dan terjadi transisi demografi ke arah populasi lansia. Diperkirakan tahun 2020 jumlah lansia meningkat 11,09% dari jumlah penduduk Indonesia (29.120.00 jiwa), dan diperkirakan dengan usia harapan hidup 70-75 tahun. Saat ini, di dunia diperkirakan ada 500 juta lansia dan diperkirakan meningkat pada tahun 2025 yaitu mencapai 1,2 milyar, dengan usia rata-rata 60 tahun. Menurut sensus penduduk tahun 1990 di Indonesia jumlah penduduknya 179,3 juta, dari angka tersebut terdapat 10 juta jiwa (5,5%) orang berusia 60 tahun ke atas dari total populasi penduduk dan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 3 kali lipat menjadi + 29 juta jiwa (11,4%) dari total populasi penduduk.

Konsekuensi peningkatan proporsi lansia menimbulkan permasalahan yang membutuhkan penanganan serius. Permasalahan yang timbul tidak hanya masalah kependudukan saja, akan tetapi juga berdampak pada faktor biologis, sosial budaya, ekonomi dan psikologis, oleh karena adanya kemunduran fisik, biologis dan mental pada lansia. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk usia lanjut ini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Permasalahan kesehatan terbesar pada usia lanjut berbeda antara negara maju dan negara berkembang dan berkontribusi terhada status kesehatan lansia.

Status kesehatan lansia ditentukan oleh status fungsional, yaitu kemampuan lansia dalam melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri dan sehat. Konsep ini terintegrasi dalam tiga komponen utama yaitu fungsi biologis, psikologis dan sosial. Ketiga komponen ini saling berhubungan dan memberikan kontribusi pada perilaku dan fungsi kesehatan. Salah satu komponen psikologis adalah status mental yang meliputi perhatian, persepsi, berpikir, pengetahuan dan daya ingat.

Faktor yang erat kaitannya dengan status mental adalah kondisi lingkungan, penyakit, dan faktor perilaku, seperti aktivitas fisik, stress, dan interaksi sosial, serta sosiodemografi yaitu usia, pekerjaan, pendidikandan tinggal hidup sendiri. Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan status mental. Beberapa studi dilaporkan pada lansia yang mengalami kesulitan melakukan pergerakan fisik atau tidak aktif, akan terjadi perbedaan dalam status mentalnya dan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup lansia dalam menjalani masa tuanya. Akibat perubahan karena proses penuaan akan memberikan dampak pada lansia untuk menyesuaikan diri. Jika lansia terlambat dalam penyesuaian diri, maka akan dapat mengganggu kondisi fisik dan mentalnya. 

Secara ideal, lansia diharapkan tetap dapat hidup produktif dan tidak tergantung pada orang lain dengan memelihara dan meningkatkan selama mungkin hidupnya sesuai dengan kemampuannya, supaya mempunyai kondisi fisik dan mental yang prima. Lansia dengan pola hidup yang baik, akan mempunyai kekuatan dan semangat untuk beraktifitas sehingga harga dirinya masih tetap terjaga.

Penelitian ini menggunakan desain studi korelasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan terhadap 91 responden. Sampel diambil dengan menggunakan simple random sampling. Pengukuran status mental menggunakan SPMSQ menurut Pfeiffer, yang terdiri dari 10 pertanyaan untuk mendeteksi: orientasi, riwayat pribadi, ingatan jangka panjang dan kemampuan matematis. Pengukuran kemampuan interaksi sosial menggunakan kuesioner dengan parameter bentuk interaksi sosial: kerjasama, persaingan, pertikaian dan akomodasi. Kuesioner terdiri dari 20 pertanyaan, yang berbentuk skala likert dengan skor penilaian 1-4 untuk setiap jawaban. Penentuan kategori berdasarkan prosentase dengan ketentuan: interaksi sosial kurang < 55%, interaksi sosial sedang 56-75%, dan interaksi sosial baik 76-100%.

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas (57,1%) lansia mengalami kerusakan intelektual ringan, dan sebagian besar (54,9%) lansia memiliki kemampuan interaksi sosial sedang. Hasil uji Spearman p=0,001 dan r=0,353, berarti terdapat hubungan status mental dengan kemampuan interaksi sosial lansia, kekuatan korelasi sedang dan korelasi bersifat positif. Pengaruh aktivitas fisik termasuk interaksi sosial lansia terhadap beberapa komponen pemeriksaan status mental, ditemukan bahwa aktivitas fisik yang teratur dapat berpengaruh secara timbal balik terhadap status mental terutama kecepatan memproses informasi yang diterima. Kelompok lansia yang secara aktif berpartisipasi dan melakukan interaksi sosial dengan baik seperti kontak mata dan mempunyai keterikatan emosional dengan teman dekat atau ikut serta dalam memberikan respon terhadap situasi dengan santai tanpa stres, akan tetap mempunyai status mental yang baik.

Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara status mental dengan kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kekuatan korelasi sedang dan arah korelasi bersifat positif. Implikasi hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu metode pendekatan untuk meningkatkan interaksi sosial pada lansia dalam memberikan pelayanan kepada lansia, terutama pada lansia di lingkungan institusional seperti panti sosial atau panti wredha.

Penulis : Joko Susanto, S.Kep., Ns., M.Kes.

Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://forikes-ejournal.com/index.php/SF/article/view/sf12419

http://dx.doi.org/10.33846/sf12419

Susanto, J., Makhfudli, M., & Umam, K. (2021). Status Mental Dengan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Lanjut Usia. Jurnal Penelitian Kesehatan SUARA FORIKES (Journal of Health Research Forikes Voice)12(4).

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp