Dramaturgi XVII UNAIR Ceritakan Dekonstruksi Kisah Cinderella

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Perempuan buta dan adiknya, Sindelarat, Pangeran (dari kanan ke kiri) pada pementasan Dramaturgi XVII, Selasa (28/12/21).

UNAIR NEWS – Pementasan dramaturgi oleh mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (Basasindo) Universitas Airlangga (UNAIR) kembali ditampilkan di pengujung tahun. Pementasan yang disiarkan secara virtual melalui YouTube itu tidak mengurangi semangat pemain dan antusias penonton. Pementasan itu merupakan bentuk tugas akhir mata kuliah Dramaturgi di Prodi Basasindo UNAIR.

Pementasan dramaturgi berjudul “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” tersebut diadakan pada Selasa (28/12/2021) melalui channel YouTube Dramaturgi Sastra Indonesia UNAIR. Dramaturgi XVII kali ini mengangkat lakon dari naskah drama “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari” yang diadaptasi dari cerpen Intan Paramadhita dengan judul yang sama.

“Setiap orang berhak memiliki ambisi, ambisi yang bijak harus mengukur kemampuan diri. Menggunakan segala cara untuk mencapai cita-cita bukanlah jalan yang bijaksana dan kisah klasik Cinderella sudah mengajarkan itu semua,” ujar Puji Karyanto, pengampu mata kuliah Dramaturgi, dalam sambutannya.

“Ditangan seorang penulis muda yang luar biasa, Intan Paramadhita, kisah Cinderella menjadi cerpen dengan ceritra yang berbeda. Malam hari ini dengan bangga, kami Dramaturgi XVII mempersembahkan sebuah lakon yang diadaptasi dari cerpen karya Intan Paramadhita,” tambahnya.

Dalam pementasan Dramaturgi XVII dari cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu yang mendekonstruksi kisah Cinderella, Nur Eliana Rosyadah bertindak sebagai sutradara.

Para pemain Dramaturgi XVII “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”

Sementara itu, Lailatul Badriyah pimpinan produksi Dramaturgi XVII mengungkapkan bahwa proses persiapan pementasan dimulai sejak awal semester pengambilan mata kuliah Dramaturgi. Sedangkan proses latihan para aktor dimulai pada Oktober dan dilakukan satu minggu dua kali bertempat di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR.

“Proses latihan rutin pemain kita mulai sejak Oktober, satu minggu dua kali pertemuan hari Senin sama Jumat. Latihannya lebih sering kita lakukan di ruang WS. Rendra FIB. Untuk latihan sendiri hanya dilatih dan diarahkan oleh sutradara, namun H-2 minggu untuk latihan kita mengundang kating-kating (kakak tingkat, Red) untuk evaluasi latihan teman-teman,” ucap Laila.

Ia melanjutkan, di masa pandemi ada beberapa kendala dalam persiapan pementasan. Ia menyebut, salah satu upaya mengurangi kendala itu adalah bekerja sama dengan komunitas teater, baik dari UNAIR maupun luar UNAIR.

“Pas H-2 minggu pihak tempat perekaman menghubungi bahwa tempatnya tidak bisa digunakan. Padahal jauh sebelum itu kita sudah menghubungi bahwa kita akan melakukan perekaman pementasan di sana. Dari situ kita maksimalkan di WS. Rendra dan dengan persiapan yang mendadak. Kita harus nyari lighting dan sebagainya, apalagi teman-teman kurang mengerti masalah lighting jadi sempat minta tolong komunitas teater lain,” jelasnya.

Terlepas dari kesulitan yang dialami, Laila mengaku sangat mengapresiasi teman-temannya yang telah berjuang bersama, sehingga Dramaturgi XVII dapat dipentaskan dengan baik. (*)

Penulis: Wiji Astutik

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp