UNAIR NEWS – Ekosistem terumbu karang memiliki arti yang amat penting bagi kehidupan manusia, baik dari segi ekonomi maupun sebagai penunjang kegiatan rekreasi karena keindahannya. Terumbu karang tersebar di seluruh dunia dan mencakup lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan pemetaan coremap yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), luas ekosistem terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai 2,5 juta ha. Terdiri dari 362 spesies scleractinia (karang batu) yang termasuk dalam 76 genera, sehingga menjadikan Indonesia sebagai episenter dari sebaran karang batu dunia.
Terumbu karang memiliki peran utama sebagai tempat berlindung, tempat berbagai macam organisme mencari makan, sumber daya perikanan, objek wisata, dan pelindung dari ombak, tetapi ekosistem ini sangat sensitif terhadap tekanan. Apalagi dengan berbagai persoalan daerah pesisir seperti penangkapan ikan dengan mempergunakan racun dan bahan peledak, pencemaran laut, peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan di daerah pesisir yang semakin meluas, dipercaya menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap ekosistem terumbu karang.
Dr. Moch. Affandi, Drs., M.Si. salah satu Pakar FST UNAIR yang konsen terhadap pelestarian terumbu karang mengungkapkan bahwa proses pemulihan terumbu karang juga berjalan dengan cara yang lambat. Sebagai contoh, pemulihan terumbu karang yang cepat di Hawai di bawah pH rendah dan suhu tinggi, setelah pemutihan massal bahkan menghancurkan area tersebut. Sehingga, dibutuhkan upaya dalam membuat suatu struktur buatan untuk manipulasi habitat, dan memulihkan terumbu karang yang rusak..
“Salah satu potensi yang dapat dikembangkan dalam pemulihan ekosistem terumbu karang adalah terumbu buatan atau AR (Artificial reef). Terumbu buatan adalah struktur buatan manusia yang ditempatkan di dasar perairan untuk meniru peran ekologis terumbu karang dan untuk memperbaiki habitat yang rusak.” Ungkapnya
Struktur AR, sambung Affandi, sebagian besar terbuat dari beton yang dirancang khusus dan memiliki berbagai bentuk seperti Reef Ball, pipa beton, kubus beton, dan bangkai kapal. Kehadiran AR juga mengubah topografi dasar laut dan mengubah aliran arus. Beberapa dari arus bergerak ke atas membawa nutrisi dari dasar ke permukaan air sehingga dapat menarik ikan. Model AR ang buatan dan keterjeratan struktural dalam ekosistem mampu menciptakan berbagai jenis habitat mikro dan diharapkan menghasilkan lebih banyak keanekaragaman dan kelimpahan organisme laut terkait.
“Akan tetapi, kebanyakan proyek AR ini memiliki kelemahan yaitu kurangnya tujuan yang spesifik dan terdefinisi dengan baik, sehingga sulit untuk menentukan apakah program tersebut memenuhi tujuan aslinya, sehingga perlu adanya monitoring dan evaluasi yang jelas terhadap proyek tersebut.,” Tutupnya.
Penulis : Ananda Wildhan Wahyu Pratama
Editor : Nuri Hermawan