UNAIR NEWS – Media baru Metaverse tengah hangat dibicarakan masyarakat. Bukan hanya soal kecanggihan teknologi dan klaim terhadap dunia masa depan, namun juga soal penerimaan masyarakat Indonesia terhadap media ini.
Terkait hal itu, Prof. Rachmah Ida, Ph.D, pakar kajian media asal Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan pendapatnya. Menurutnya, adopsi dari inovasi media ini memiliki penerimaan yang berbeda-beda secara segmen. Kalangan muda urban yang teknologi sebagai “the have”, memiliki resources ekonomi dan senang mencoba hal baru, akan menjadi pengadopsi inovasi awal atau disebut early adopter.
“Sesuai dengan teori difusi inovasi, kalangan yang tidak melek teknologi, terus mungkin juga tidak ada resources, dan masih menggunakan konsep gemeinschaft dan gesselschaft meskipun teknologi digital sudah maju, nantinya akan sulit untuk ikut serta dalam inovasi media ini,” jelas profesor bidang media studies pertama di Indonesia tersebut.
Namun selain kesiapan masyarakat dalam menerima media ini, kesiapan infrastruktur juga menjadi faktor yang berperan penting. “Untuk bisa mengakses Metaverse butuh transfer data yang banyak, sehingga membutuhkan infrastruktur internet yang baik,” jelasnya.
Masuknya media baru, artinya menghadapi tantangan baru. Dalam dunia virtual reality Metaverse, pengguna akan disuguhi oleh berbagai fitur berbayar dan juga aksesori untuk mempercantik tampilan digital avatar. Hal ini dianggap Ida sebagai hal yang memicu konsumerisme pada pengguna. “Konsep semacam ini sebenarnya sudah diterapkan saat Second Life muncul, dan American Express menjadi kartu kredit yang digunakan untuk pembayaran objek virtual menggunakan uang yang nyata,” sebut dosen prodi Ilmu Komunikasi UNAIR itu.
Dalam novel science fiction berjudul “Snow Crash” yang menginspirasi terbentuknya dunia realitas digital, virtual reality menjadi medium untuk melarikan diri dari adanya perubahan iklim ekstrim, kekurangan air, dan bencana pada dunia nyata. Metaverse sebagai perwujudan novel karangan Neal Stephenson tersebut, juga menjadi medium “melarikan diri” dari kenyataan, baik untuk ajang hiburan, ataupun mencari pengalaman baru di dunia yang baru.
Meski menjadi inovasi yang positif dalam teknologi, pengguna dunia realitas digital juga harus berhati-hati. “Selain pada fisik, gangguan juga bisa terjadi pada mental pengguna, yaitu saat menyaksikan dunia sesungguhnya merupakan hal yang jauh berbeda dengan yang ada di dalam dunia digital,” pungkasnya(*)
Penulis : Stefanny Elly
Editor : Khefti Al Mawalia