Pakar Kajian Media UNAIR Bahas Metaverse dari Segi Historikal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Pikiran Rakyat

UNAIR NEWS – Istilah Metaverse tengah ramai diperbincangkan akibat klaim Mark Zuckerberg yang menyebutnya sebagai dunia masa depan. Metaverse merupakan gabungan antara aspek virtual reality (VR), augmented reality (AR), media sosial, dan juga cryptocurrency untuk memungkinkan pengguna berinteraksi dalam realitas digital.

Kemunculannya sebagai media ditanggapi oleh Prof. Rachmah Ida, Ph.D, pakar kajian media Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai perkembangan dari konsep yang telah ada sebelumnya. “Konsep Metaverse bukan benar-benar baru, sebab pada tahun 2003 sudah ada dunia virtual bernama Second Life yang menawarkan adanya konsep virtual community yang dibuat dengan maksud menghubungkan orang tanpa harus bertemu secara langsung,” jelasnya.

Keberhasilan Second Life terlihat saat perusahaan sekelas International Business Machine Corporation (IBM), serta ratusan perusahaan lainnya berbondong-bondong mendirikan kantor virtual disana. “Sedangkan di dunia pendidikan, Stanford, MIT, Monash mencoba membuat virtual campus yang dibangun menggunakan Second Life,” jelas Guru Besar bidang Kajian Media pertama di Indonesia tersebut.

Meski populer di luar negeri, saat itu virtual world belum mendapatkan perhatian khusus di hati masyarakat Indonesia. Namun, demi membuka mata mahasiswa akan luasnya dunia media, Prof Ida mengajarkan seluruh mahasiswa S2 Media dan Komunikasi UNAIR untuk membuat akun dan berkelana di SimCity dan Second Life. “Kendalanya ya tetap di infrastruktur karena membutuhkan kapasitas komputer yang sangat besar, dan internet yang memadai,” kenangnya.

Serupa dengan Second Life di masa itu, teknologi Metaverse juga sebaiknya didukung oleh infrastruktur dan jaringan internet yang stabil. “Harus didukung oleh infrastruktur dan jaringan yang established. Kalau internet sebagai jalurnya saja tidak stabil, akan susah untuk ikut serta dalam Metaverse,” jelasnya.

Jika menengok lebih jauh, rupanya teknologi semacam Secondlife, SimCity, bahkan Metaverse sebenarnya terinspirasi oleh novel-novel science fiction seperti Frankenstein, Snow Crash, serta Ready Player One. “Disitu media realitas virtual dijadikan medium melarikan diri atau escape dari dunia yang sedang mengalami kondisi mengerikan dan menakutkan,” paparnya.

Meskipun serupa, Second Life dan SimCity dikatakan memiliki perbedaan yang signifikan dengan platform besutan Mark Zuckerberg itu. “Metaverse adalah pengembangan dari konsep-konsep virtual world yang pernah ada,” sebut Ida.

Ia juga berpendapat, bahwa Metaverse diterima secara segmented di Indonesia. Kalangan muda urban yang terbiasa dengan kecanggihan teknologi, memiliki resources ekonomi dan senang mencoba hal baru, akan menjadi pengadopsi inovasi awal atau disebut early adopter. “Lalu, untuk kalangan yang tidak melek teknologi, terus mungkin juga tidak ada resources, dan masih menggunakan konsep gemeinschaft dan gesselschaft meskipun teknologi digital sudah maju, nantinya akan sulit untuk ikut serta dalam inovasi media ini,” tutupnya(*)

Penulis : Stefanny Elly

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp